Penulis: Hasan Mabruri, S.Sos, M.Si (Alumnus Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan Unitas Palembang)
AMPAR.ID – Situasi Provinsi Jambi akhir-akhir ini agak sedikit ruwet, bukan karena pemerintahan tidak berjalan, bukan juga karena defisit anggaran, apalagi gangguan keamanan, secara umum, masyarakat rukun-rukun saja, pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya, hanya saja ada cerita soal angkutan Batu Bara yang membuat macet jalan nasional.
Beberapa waktu lalu kemacetan “horor” di Jambi menjadi isu nasional, jika daerah lain kemacetan parah terjadi dipusat kota, tapi di Jambi justru terjadi di wilayah Kabupaten (pedesaan), terutama di jalan milik pemerintah pusat (sebut jalan nasional) yang melintasi Kabupaten Batanghari, yang berada ditengah dalam peta Propinsi Jambi, situasi inilah yang membuat Gubernur Jambi Al Haris melakukan aksi bak “koboi”, “membegal” kebijakan menghentikan aktivitas Batu Bara yang sebetulnya bukan kewenangannya, demi apa dan untuk siapa.? Berikut ulasan penulis.
Dalam data penulis, ribuan angkutan batu bara menjadi penyebab utama kemacetan, ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya “macet horor” tersebut, diantaranya, tingginya volume lalu lintas angkutan Batu Bara,kondisi jalan yang dalam keadaan rusak, tonase beban yang melebihi ketentuan, bahkan bila satu kendaraan angkutan Batu Bara saja rusak bisa berakibat fatal, karna tak jarang kerusakan itu terjadi ditengah jalan yang sulit untuk dipinggirkan.
Kondisi ini mengakibatkan Pemerintah Propinsi Jambi menjadi bulan-bulanan, tentu, karena ini tugas pemerintah, tapi, dalam tata negara kita, pemerintah memiliki beberapa tingkatan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, Kecamatan sampai ke desa.
Setiap tingkatan pemerintahan tersebut memiliki kewenangan masing-masing, Pemerintah Propinsi Jambi di bawah kepemimpinan Gubernur Dr. Al Haris dan Drs. Abdullah Sani juga memiliki kewenangan, dibalik kewenangan yang dimiliki, juga ada keterbatasan, terutama dalam mengambil kebijakan, ada yang boleh, ada yang tidak, semua telah diatur oleh undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah daerah.
Saya tidak akan terlalu luas menulis tentang kewenangan, saya akan mencoba melihat dalam ruang yang lebih sempit, yaitu tentang Eksploitasi Batu Bara (fosil bumi) yang ada di Propinsi Jambi.
Pertama soal izin pertambangan Batu Bara, bila merujuk pada undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu Bara (Minerba), izin pertambangan Minerba menjadi kewenangan Menteri ESDM bila wilayah pertambangan tersebut berada dilintas Propinsi, bila berada di lintas wilayah Kabupaten maka menjadi kewenangan Gubernur, bila berada dalam 1 wilayah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Bupati atau Walikota. Untuk diketahui, izin pertambangan batu bara yang ada saat ini telah dikeluarkan rata-rata kisaran Tahun 2005 sampai 2013, dimana rata-rata tambang di Jambi izinnya dikeluarkan oleh Bupati, terutama bupati Tebo, Bungo, Sarolangun, Batanghari, Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat kala itu.
Lalu, pada tahun 2020, melalui undang-undang nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan Minerba, seluruh kewenangan pemberian izin tambang berada sepenuhnya di Pemerintah pusat (Menteri ESDM), tak terkecuali Batu Bara.
Lalu, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan baru melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 tahun 2022, dimana untuk izin pertambangan mineral bukan logam dan batuan (Galian C) serta Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kewenangannya dilimpahkan ke pemerintah daerah (Propinsi), untuk diketahui, pelimpahan kewenangan tersebut TIDAK TERMASUK IZIN PERTAMBANGAN BATU BARA. Artinya, izin pertambangan Batu Bara tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat, BUKAN GUBERNUR.
Berikutnya soal jalan yang dilintasi mobil angkutan batu bara…. (Bersambung)
(Min/min)
Diskusi tentang inipost