Abu al-Laits As-Samarqandy atau Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim As-Samarqandy adalah ulama asli Uzbekistan. Seorang faqih, ahli hadits, dan tafsir. Beliau dikenal penutur nasihat yang sangat bermanfaat. Salah satu kitab karyanya yang sangat terkenal adalah: Tanbiih al-Ghaafiliin (pengingat bagi mereka yang lupa).
Di dunia pesantren, kitab tersebut menjadi bahan kajian penting bagi para santri yang bisa menjadi bekal kehidupan kelak setelah kembali ke masyarakat. Salah satu tema yang dibahas dalam kitab tersebut adalah tentang ciri-ciri orang bodoh. Selain menggunakan bahasa yang mudah, juga mengulas tema-tema menarik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Konsep yang dibangun pada tema tersebut, Abu al-Laits tidak menyoroti pada aspek kemampuan kognitif, tetapi lebih pada unsur karakter individu yang bersifat moral dan mental, sehingga dibuat sebuah kategori ciamik yang mungkin belum terpikirkan oleh orang lain.
Dalam kitab tersebut dijelaskan untaian hikmah dari bijak bestari (hakiimu al-hukamaa), bahwa ada 6 ciri-ciri orang bodoh. Pertama, marah tanpa sebab. Kedua, berbicara tanpa ada manfaatnya. Ketiga, memberikan sesuatu tidak pada tempatnya. Keempat, mengumbar rahasia kepada siapapun. Kelima, mudah percaya kepada siapapun. Dan keenam, tidak mampu membedakan mana teman dan mana musuh.
Ciri pertama, marah tanpa sebab. Orang yang tiba-tiba marah tentu sangat membingungkan orang lain. Meski marah adalah unsur manusiawi, jika marah tanpa sebab kepada orang yang tidak mengerti apa kesalahannya bisa membuat orang lain tersinggung. Marah tanpa sebab bisa jadi karena faktor emosi yang tidak terkendali berdasarkan ilusi atau halusinasi yang dapat merusak hubungan sosial. Pada saat yang sama, ia dikaruniai akal dan hati yang seharusnya mampu menjadi “kompas” bagi sikap dan perilakunya.
Ciri kedua, berbicara tanpa ada manfaatnya. Lisan diciptakan Tuhan sebagai alat komunikasi dengan sesama dan untuk menyampaikan hal-hal baik dan bermanfaat. Jika lisan yang kita miliki untuk berbicara tentang hal-hal yang tak berguna, apalagi menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang bodoh. Semakin banyak berbicara, semakin berpeluang kepleset lisan yang bisa menjadi petaka. Ingat, mulutmu harimaumu!
Ciri ketiga, memberikan atau menempatkkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagai makhluk yang berakal dan berhatinurani, hendaknya memberikan sesuatu kepada orang yang tepat. Jangan berikan anak kecil mainan berupa pisau atau korek api yang bisa membahayakan diri anak tersebut atau orang lain. Bisa pula dipahami, termasuk orang bodoh jika kita menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Alangkah tidak bijak mengenakan baju renang saat belanja ke mall.
Ciri keempat, mengumbar rahasia kepada siapapun. Rahasia yang kita ketahui hendaknya tidak dibuka kepada orang lain. Apalagi rahasia itu menyangkut aib atau keamanan saudara kita. Bukankah muslim yang baik adalah ketika dia mampu menutupi aib saudaranya sendiri? Rahasia yang kita ketahui adalah “amanah” sosial dan spiritual. Tentu memiliki risiko jika kita membocorkan rahasia kepada orang yang tidak berhak tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Bukankah banyak pertikaian terjadi dalam sejarah kemanusiaan disebabkan oleh rahasia yang bocor?
Ciri kelima, mudah percaya kepada siapapun. Tidak semua orang bisa dipercaya untuk mengemban amanah dengan baik. Karenanya, merupakan sebuah kebodohan jika kita mempercayakan sesuatu kepada orang-orang yang kita tidak tahu track record-nya. Istilah mudahnya, jangan pernah percaya kepada orang untuk menyimpan harta kepada seorang pencuri. Jangan pernah percayakan jabatan publik kepada seorang pengkhianat. Dengan lugas Abu al-Laits menyebut orang yang mempercayai semua jenis manusia tergolong orang-orang bodoh.
Keenam, tidak mampu membedakan mana teman dan mana musuh. Coba bayangkan jika dalam keadaan perang, kita tidak bisa membedakan mana kawan, mana lawan, pasti akan terjadi kekacauan, bahkan kekalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita “merasa” tidak memiliki musuh, tetapi paling tidak kita bisa mengenali sesiapa yang perlu kita berikan respek lebih dengan orang yang cukup dihargai saja. Artinya, sikap dan perilaku kita kepada orang lain diperlukan kemampuan untuk membaca situasi, agar tidak terjebak dalam kebodohan yang tidak faedah.
Semoga di bulan suci Ramadan ini kita tidak termasuk salah satu golongan yang memiliki karakteristik seperti disebutkan Abu al-Laits as-Samakarqandy tersebut. Amin ya Rabb.
Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTIS)
Diskusi tentang inipost