AMPAR.ID, JAMBI – Tulisan ini disusun karena adanya kegelisahan akademik penulis terkait dengan realitas sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita, bahkan di kalangan intelektual-akademik sekalipun yang cukup mengkhawatirkan dalam hal menyikapi sebuah informasi. Realitas sosial itu sendiri, diartikan sebagai suatu kenyataan atau fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa naskah akademik, menerangkan adanya beberapa indikasi realitas sosial masyarakat kita yang cukup mengerikan dalam hal kemampuannya mengidentifikasi sebuah informasi dengan bijaksana.
Indikator-indikator tersebut, misalnya dikemukan oleh Morisan dan ahli lainnya yang menerangkan minimnya realitas sosial literasi masyarakat sekitar kita, yaitu Masyarakat seakan tidak mau tahu apakah berita yang mereka terima itu terbukti kebenarannya atau tidak, Masyarakat seakan mudah sekali mengeluarkan penilaian pribadi atas suatu berita, meskipun mereka sebenarnya tidak hadir di sekitar tempat kejadian, Masyarakat seakan “malas” membaca informasi di dalam media sosial secara komprehensif alih-alih memverifikasinya. Realitas sosial semacam ini dapat dikatakan pula bahwa masyarakat kita masih rendah di dalam budaya literasi.
Penulis tentu mengakui, masih ada banyak lagi realitas sosial lainnya yang dapat disebutkan selain dari tiga indikator di atas. Namun demikian, melalui tiga hal ini saja, susungguhnya dapat dianalisa agak lebih jauh bahaya apa yang dapat mengancam kehidupan manusia itu sendiri di masa yang akan datang? Agaknya, tidaklah berlebihan jika dikatakan pembiaraan realitas sosial ini akan membawa dampak pembelahan sosial yang tajam di antara masyarakat, intoleransi, bahkan dalam skala besar bisa mengancam eksistensi kedaulatan suatu negara. Untuk itulah tulisan ini disusun untuk memberikan pemantik yang harapannya dapat menjadi sumbangan pemikiran filosofis dalam menghadapi realitas sosial yang semakin “gersang” di tengah “kemarau” era disrupsi.
Melalui tulisan ini, dibicarakan mengenai fenomena hoaks tersebut dan apa tawaran yang bisa kita gunakan untuk mengatasi realitas sosial kita hari-hari ini dari perspektif filsafat, yaitu hermeunetika.
Apa itu hoaks?
Kata hoaks sendiri berakar dari kata hocus (mengelabui). Di tahun 2021 ini, apalagi dengan kemajuan TIK, maka hoaks akan semakin subur diproduksi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa hoaks itu bisa muncul dan menyebar dalam ruang publik, diantara faktor penyebabnya adalah Informasi yang premature, yaitu berita yang hanya mengejar kecepatan penyebarannya saja, hingga mengabaikan fakta. Disrupsi: yaitu sebuah era dimana terjadinya inovasi atau perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua system dan tatanan yang ada. Adanya dorongan motivasi pragmatis (faktor politik), misalnya ingin menjatuhkan lawan politik/citra seseorang. Motif ideologi, serta Motif ekonomi.
Hermeunetika adalah satu jenis diksi di dalam filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Istilah ini diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani, yaitu hermeunein yang artinya: menafsirkan, memberi pemahaman, dan menerjemahkan.
Fenomena Hoaks ditinjau Secara Hermeneutika
Paul Ricoeur menawarkan konsepsi yang dikenal dengan istilah “fiksasi” dan “distinsiasi.” Adapun fiksasi adalah proses untuk mencocokkan antara apa yang diucapkan secara lisan hingga tertuang menjadi sebuah tulisan. Dalam pandangan Ricoeur, setiap penulisan pasti akan melewati fase wacana. Untuk itulah, agar tidak terjadi distorsi di tengah jalan maka perlu dipastikan betul bahwa apa yang dikatakan secara lisan tidak berubah ketika menjadi sebuah tulisan. Contoh baik untuk konteks ini adalah bagaimana tradisi Islam menjaga otentisitas sebuah Hadits Nabi saw.
Paul Riceour juga menawarkan teori “distiansiasi” arti dari istilah ini adalah memisahkan antara teks/wacana dengan penutur, situasi, dan penerima awal. Maksudnya adalah, tatkala ada sebuah informasi, maka: subjek harus dapat memisahkan antara teks, penutur (kapasitas yang membuat teks) dan situasi (konteks).
Gadamer menawarkan teori belongin experience di dalam menghadapi hoaks. Teori ini secara sederhanya dapat dipahami bahwasanya setiap orang harus mengetahui sebuah peristiwa berdasarkan pengalamannya sendiri.
Konsekuensi dari teori ini adalah, ketika subjek tidak memiliki pengalaman langsung atas berita atau informasi yang ia terima, maka ia tidak pantas untuk menindaklanjuti informasi tersebut, karena ia tidak memiliki kapasitas untuk itu dan tidak berhak, sekalipun hanya untuk meneruskannya di medsos. Perbedaan mendasar antara Ricoeur dan Gadamer adalah, jika Ricoeur mengharuskan subjek untuk menganalisis penulis teks, sedangkan Gadamer lebih mengharuskan subjek untuk mengalami langsung (baca: memiliki wawasan langusng) terhadap objek yang diberitakan.
Semoga melalui analisa filsafat hermeunetika ini, bangsa Indonesia dapat menganalisa pemberitaan di ruang publik dengan lebih bijaksana. Sehingga dengannya pula bangsa ini dapat melawan hoaks dengan cara-cara yang cerdas dan bertanggung jawab.
______
(Penulis merupakan magister Pemikiran Agama dan Filsafat Islam, juga seorang penulis, public speaker, juga menjadi staff pengajar sebagai DLB di Fakultas Dakwah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Penulis dapat dihubungi melalui email: filsafatariyandi@gmail.com WA: 0852 1833 0241)
Diskusi tentang inipost