AMPAR.ID, Jambi – Kebijakan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim melalui Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai banyak kontroversi.
Permendikbudristek ini sekarang berada pada tahap implementasi. Untuk memahami proses kebijakan secara umum terdapat formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Tahap formulasi adalah tahap krusial dan didalam nya terdapat masukan.
Terkait hal tersebut Dr. Pahrudin HM, M.A. Analis Kebijakan Universitas Nurdin Hamzah Jambi, mengatakan bahwa Saya tidak tau input ini bagian dari pemerintah atau dari masyarakat tertentu atau dari mana gitu ya sehingga muncul yang seperti ini tapi yang jelas dalam proses input itu pasti beragam ya, input itu bisa mendukung atau bisa menolak dan lain sebagainya. Selasa (9/11/21).
Didalam formulasi kebijakan. Kebijakan yang baik itu, sangat kontekstual yang artinya regulasi yang akan dibuat betul-betul memperhatikan kondisi Sosio Kultural masyarakat, agar kebijakan nanti tidak menimbulkan kontra dan tidak mendapat resistensi yang besar dari masyarakat.
Pahrudin menilai, aturan tersebut kurang memperhatikan konteks Sosio kultural masyarakat Indonesia, meskipun tidak menyebut agama tapi salah satu unsur pembentuk budaya itu dari agama tetapi memang niatan kebijakan nya sudah bagus untuk mencegah terjadi tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Cuma ada catatan dari saya, Pemerintah kurang memperhatikan dan kurang mengakomodasi aspek-aspek Sosio Kultural masyarakat, yang selalu disoroti kan kata “tanpa paksaan” itu sehingga orang memahami, misalnya buka baju kalo dia suka sama suka ya ga ada masalah, padahal ini bertentangan dengan aspek kultural masyarakat yang berasal dari agama. Kalau kita telusuri gaya ini mirip barat dan saya melihat ada kecenderungan ke liberal…niatan baik tapi muatan kurang” kritik nya.
(Meli)
Diskusi tentang inipost