Sepertinya tuanya usia kemerdekaan negara ini belum mampu menemukan tatanan pemerintahan yang benar-benar memahami dan mampu menjabarkan ruh daripada amanat konstitusional sebagaimana yang tercantum dalam alinea ke IV UUD’45, salah satunya yaitu dalam hal mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM) agar terwujud kondisi sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Hukum Dasar Dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dikutip dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa terdapat catatan sejarah yang menunjukan adanya upaya pemerintah dalam menterjemahkan amanat konstitusional tersebut yaitu dengan menetapkan kebijakan subsidi BBM yang mulai sejak dari era Presiden Soekarno, dilanjutkan pada era Presiden Soeharto dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi disesuaikan sebanyak 21 kali, di era Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebanyak 6 kali, era Presiden Megawati, harga BBM bersubsidi disesuaikan sebanyak 18 kali, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, harga BBM bersubsidi disesuaikan sebanyak 8 kali dan pada era Presiden Joko Widodo, harga BBM bersubsidi disesuaikan sebanyak 7 kali.
Dari catatan sejarah perjalanan pelaksanaan subsidi BBM sebagaimana diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan subsidi BBM yang telah ditetapkan yaitu untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari dan usaha, masih bak kata pepatah masih jauh panggang dari api atau masih teramat sangat jauh dari harapan ataupun ekspektasi masyarakat, atau dapat dinilai pemerintah telah gagal dalam menjalankan Tugas Pokok dan Fungsi atau telah gagal mempergunakan hak dan kewenangan yang melekat pada kedudukan dan jabatan ataupun melekat erat pada kekuasaan sebagaimana mestinya.
Kegagalan yang ditandai dengan masih sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak yang konon katanya diperuntukan bagi kepentingan masyarakat sebagaimana tujuan subsidi, masih maraknya praktek-praktek melawan hukum dalam kegiatan pemanfaatan hasil pengolahan kekayaan alam tersebut, seperti praktek Ilegal Driling, adanya rekayasa proses penyaluran BBM tertentu yang dimaksud kepada pihak industri, justru didistribusikan dari SPBU-SPBU BBM Subsidi dan hal itu disinyalir dilakukan secara terang-terangan serta adanya praktek merekayasa takaran penjualan kepada masyarakat penerima hak subsidi.
Walau tidak dapat dikatakan merupakan kesengajaan memberikan dukungan nyata ataupun secara langsung akan tetapi perbuatan terakhir diatas merupakan upaya jahat terselubung dari pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) guna untuk menutupi kerugian usahanya dan ketidak mampuan mendukung pelaksanaan subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Setelah membaca dan memperhatikan sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan serta dengan merujuk pada beberapa azaz, antara lain seperti Lex posterior derogate legi priori dengan pengertian secara harfiah yaitu : Peraturan yang baru mengesampingkan Peraturan yang lama, dan azaz Lex Superior derogat legi inferiori yaitu suatu azaz yang menetapkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, serta jika dilihat atau ditinjau dari sisi hierarki hukum sebagaimana amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bertolak dari sana maka sejumlah kebijakan pemerintah dapat dinilai tidak lebih dari kumpulan anekdot yang menunjukan penampilan kepura-puraan pemerintah dalam melindungi kepentingan hak-hak masyarakat atau rakyat, bahkan terkesan lebih cenderung keduanya hanya dijadikan alat pemenuh kepentingan politik kekuasaan semata, salah satu cara yang dilakukan yaitu menetapkan kebijakan subsidi dengan segala macam ketentuan peraturan perundang-undangan dan instrument hukum pelaksanaan kebijakan dimaksud.
Ketidak mampuan pihak SPBU tersebut sepertinya telah didukung ataupun ditopang dari kebijakan pemerintah yang terkesan tidak serius bahkan lebih cenderung sebagai suatu anekdot, Pemerintah terkesan seperti tidak mengerti dengan azaz-azaz sebagaimana amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta sebagaimana Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 yang dimaksud, tentunya hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima akal sehat, jika pemerintah bersikap, berbuat dan bertindak seakan-akan tidak mengerti aturan.
Pemerintah jelas pasti tahu dan memahami serta menyadari bahwa secara normative terdapat 7 (Tujuh) azaz dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu azaz kejelasan tujuan; azaz kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; azaz kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; azaz dapat dilaksanakan; azaz kedayagunaan dan kehasilgunaan; azaz kejelasan rumusan; dan azaz keterbukaan. Selain daripada itu hal merupakan suatu hal yang paling mendasar dimana penyelenggara ataupun pejabat negara pasti mengerti dan memahami Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Dengan merujuk dan memperhatikan serta mempelajari baik sebagian maupun secara keseluruhan azaz-azaz pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatas dibandingkan dengan sejumlah regulasi yang telah ditetapkan oleh pemegang hak membuat kebijakan dan peraturan maka akan terlihat kwalitas dari kebijakan tersebut, lebih mendekati penilaian tidak lebih dari sebuah anekdot.
Tolak ukur penilaian diawali dengan penilaian terhadap peraturan pelarangan BBM Subsidi yaitu Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor 3 tahun 2012 tentang Pengendalian Bahan Bakar Minyak Jenis Tertentu Untuk Mobil Barang Yang Digunakan Pada Kegiatan Perkebunan dan Pertambangan.
Ketentuan pada peraturan yang ditetapkan pada 30 Agustus 2012 tersebut dimana Pasal 3 ayat (1) peraturan yang dimaksud dengan tegas menetapkan pelarangan penggunaan BBM jenis tertentu untuk mobil barang yang dipergunakan pada kegiatan usaha perkebunan dan pertambangan dimulai terhitung pada tanggal 1 September 2012.
Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH-MIGAS) tersebut jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2012 yang lebih dulu ditetapkan dibandingkan Peraturan Kepala BPH MIGAS yaitu pada 29 Mei 2012, akan tetapi baik secara implisit maupun secara eksplisit sepertinya belum mengatur atau menetapkan tentang pelarangan penggunaan BBM tertentu bersubsidi sebagaimana yang diatur dan ditetapkan oleh Mitra Pemerintah tersebut.
Pelarangan tersebut justru baru ditetapkan setelah dicabutnya Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2012 tersebut yaitu dituangkan pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak dimana diatur pada pasal 6 ayat (1) huruf a, dengan amanat Pembatasan penggunaan Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil) untuk Mobil Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan Mobil Barang dengan jumlah roda lebih dari 4 (empat) buah untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dilarang menggunakan Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil);
Sepertinya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2013 dimaksud menggunakan prinsif lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Hal itu kiranya memang lebih baik jika dibandingkan dengan ketetapan dan ketentuan yang tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dimana tidak mengatur secara tegas sebagaimana pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2013 yang dimaksud.
Kembali merujuk pada azaz Lex posterior derogate legi priori dan azaz Lex Superior derogat legi inferiori serta dengan memperhatikan Hierarki Hukum apa mungkin dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 yang dimaksud Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak masih berlaku dan dapat dilaksanakan.
Apalagi bila merujuk pada definisi sebagaimana amanat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menetapkan bahwa Peraturan Presiden adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden.
Tujuannya adalah untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Peraturan Preisden (Perpres) merupakan tindakan hukum pemerintah bersifat regeling (pengaturan) atau ketentuan yang bersifat umum, Abstrak, mengikat semua orang dan berlaku terus menerus.
Peraturan presiden berisi muatan yang bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus. Semua orang terikat dengan peraturan presiden tersebut sampai peraturan tersebut dicabut atau diganti dengan yang baru.
Mengingat azaz dan hierarki hukum sebagaimana diatas dan dengan memperhatikan sifat dan fungsinya maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 adalah merupakan repsentative (perwakilan) daripada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (MIGAS).
Sanksi hukum untuk perbuatan yang menyalahgunakan BBM subsidi termasuk pada kategori tindak pidana telah diatur pada Pasal 55 Undang-Undang Migas yang dimaksud dengan amanat Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Fakta lapangan menunjukan seakan-akan hukum benar-benar telah lumpuh total, takluk dibawah kekuatan kekuasaan musuh-musuh demokrasi seperti Oligarki, Kleptokrasi ataupun Plutokrasi. Dimana terdapat gambaran menyangkut proses distribusi dan/atau penyaluran BBM tertentu yang seharusnya merupakan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) juncto Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta patut diduga kuat untuk diyakini terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum lainnya yang berkaitan dengan Pendapatan Negara dari sector Perpajakan, yang seakan-akan para pelaku kejahatan tersebut telah tertata secara rapih dalam sebuah organisasi atau dapat dikatakan sebagai sebuah kartel mafia.
Perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dibuktikan oleh pihak-pihak berkompeten yang melalui amanat konstitusional diberikan oleh negara hak dan kewenangan untuk melakukan pembuktian agar dapat diwujudkan secara nyata kemanfaatan hukum guna atau demi mencapai tujuan negara sebagaimana alinea ke IV UUD’45.
Seharusnya dengan kekuatan sifat-sifat hukum Pemerintah tidak boleh kalah dari benalu ataupun virus-virus demokrasi yang merongrong kedaulatan dan kekayaan negara, karena secara normative dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat melakukan upaya paksa, untuk itu pemerintah dilengkapi dengan alat negara bersenjata (TNI) dan dipersenjatai (POLRI).
Diskusi tentang inipost