Oleh : Rama Putra
AMPAR ID, Jambi – Dua tahun pasca kerusuhan di Universitas Jambi (Unja) berlalu, kini demokrasi belum jua bisa hidup berdampingan dengan kalangan civitas akademik, sungguh potret anomali yang kelam dalam perjalanan sejarah kampus pinang masak. Orang yang paling bertanggung jawab atas matinya demokrasi dua tahun lalu adalah rektor Unja Prof. Sutrisno beserta jajaran birokrasinya, ini bukan tudingan atas dasar sentimen ketidaksukaan, karena jika ingin dikaji dari segi mana pun dan membaca ulang konflik secara menyeluruh, maka kesimpulannya tetap lah sama.
Apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu? Tumpang tindih ego siapa yang bermain? Serta kepentingan apa yang ingin dicapai? Hal ini tidak boleh dikaji dari satu sudut pandang, karena akan ada kepingan puzzle yang hilang untuk mencapai satu kesimpulan akhir. Tahun 2021, kalangan mahasiswa diperdebatkan dengan status kepengurusan eksekutif di tingkat universitas. Tentu saja perdebatan semacam ini mendorong adanya pergantian kekuasaan. Wajar untuk sebuah demokrasi menghendaki hal tersebut, karena ia lahir untuk meng-counter kekuasaan tak berujung para raja dan birokrat di masanya.
Dorongan-dorongan yang terjadi ditanggapi dengan tidak baik, bahkan gesekan yang terjadi kala itu merangsek ke aksi premanisme. Ketua MAM Unja, Agustia Gafar, menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh oknum sopir dari WR 3, Teja Kaswari. Kasus premanisme tersebut belum mencapai ujung, bahkan hingga kini, laporan tentang adanya dugaan penganiayaan masih tetap tertahan di Polda Jambi. Parahnya lagi, aksi protes yang dilakukan mahasiswa agar birokrasi bersedia mendukung pelaksanaan Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) ditanggapi dengan acuh tak acuh. Tidak hanya berkutat pada aksi brutal, kekonyolan juga diperlihatkan dengan jelas mana kala Rektor Unja, Prof. Sutrisno menutup rapat kran komunikasi dengan memblokir WA Ketua MAM selaku perpanjangan tangan mahasiswa.
Memang aneh, mematikan gerakan politik mahasiswa di kampus pasti punya tujuan tertentu, ada kepentingan yang sedang coba untuk dilindungi. Padahal sebenarnya, organisasi semacam BEM dan MAM diakui keberadaannya dengan SK Peraturan Rektor Universitas Jambi Nomor 04 tahun 2018. Adapun, hal tersebut juga didukung oleh negara dengan terbitnya Keputusan Mendikbud Nomor 155 tahun 1998 tentang pedoman umum organisasi mahasiswa di perguruan tinggi. Kekacauan demokrasi yang terjadi bahkan hingga saat ini, membuktikan bahwa Prof. Sutrisno tidak lagi pantas untuk memimpin pembangunan, problematika lingkup kecil semacam ini saja belum bisa diselesaikan secara matang.
Pembangunan tidak boleh kita artikan sempit, manakala menjadi pemimpin maka pembangunan itu harus dilaksanakan secara komprehensif. Bukan cuma gedung-gedung mewah yang menjadi tuntutan universitas, terlalu remeh tolak ukur kampus jika hanya dilihat secara Zahir. Kasus Al Zaytun yang viral belakangan menjadi contoh, apa artinya bangunan megah dengan kemiskinan intelektual dan pengetahuan peserta didik, memalukan. Harusnya kampus sama seperti yang pernah diharapkan oleh mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, yaitu menjadi tempat untuk mengawal jalannya demokrasi.
Unja pada masa kepemimpinan Prof. Sutrisno, berada di titik nadir demokrasi, mandeknya BEM dan MAM selama hampir 2 tahun akan terus jadi preseden buruk yang akan dikenang. Menarik lagi apa yang disampaikan Hamdan Zoelva, nyatanya keberadaan serta peran demokrasi dalam dunia pendidikan sangat fundamental. Kita bisa lihat dalam UU Sisdiknas tahun 2003, di mana pada Bab III mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan, dari 6 prinsip yang dicantumkan, pertama kali ditekankan adalah pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis. Artinya, rentetan peristiwa kelam di Unja telah mencederai pendidikan nasional. Tentu saja kita tidak boleh final dengan pengertian jika pendidikan hanyalah proses pembelajaran di dalam kelas. Berorganisasi dan berpolitik di kampus juga merupakan pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri. Maka menarik untuk disimpulkan, jika apa yang didapat selama menjalani proses di kampus sangat menentukan apa yang akan diberi kepada masyarakat, jangan sampai kampus mendidik mahasiswanya untuk menjadi warga yang culas.
(Meli)
Diskusi tentang inipost