AMPAR.ID, JAMBI – Indonesia sebagai negara yang besar dan memiliki sumber daya alam yang melimpah baik itu dari sumber daya alam hayati maupun dari sumber daya alam non hayati. Salah satunya sumber daya hutan yang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia yang harus dijaga dan di lestarikan keberadaannya. Dalam pembahasan ini yang mana tertuju terhadap sumber daya alam hayati yaitu sumber daya hutan.
Hutan suatu ekosistem yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar manfaat dan kegunaan hutan itu sendiri dapat dinikmati keberadaannya. UU No. 41 Tahun 1999, Pasal 3: Tujuan pengelolaan kehutanan itu sendiri antara lain adalah menjamin keberadaan hutan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, mengoptimalkan aneka fungsi hutan( fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mendapatkan manfaat lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari), meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara partisipatif,berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akkibat perubahan eksternal dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan dari data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), luasan hutan dengan status adat saat ini adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan. Berdasarkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut ingin mengubah cara pandang hutan adat yang semula negara sentris menjadi adat sentris.
Sebagai sebuah putusan, kalau yurisprudensi MK tersebut dilihat secara mendalam sebenarnya sedang membangun teoritisasi pembangunan hukum HAM dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat atas hutan adat. Setelah melihat dan memperhatikan lebih jauh, penulis bisa menemukan bahwa Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut mempunyai perspektif progresif dengan dimensi sebagai berikut, yakni: berideologi pro rakyat, berfungsi sebagai pembebasan bagi hak adat, bertujuan sebagai pemberdayaan untuk masyarakat hukum adat dan memberikan keadilan sosial bagi masyarakat adat.
Meskipun putusan MK telah keluar tentang kepemilikan hutan adat akan tetapi konflik masih terus terjadi salah satunya terjadi di Desa Renah Alai yaitu berawal dari pembalakan liar yang dilakukan oleh kelompokkelompok eksodus di sekitar TNKS yang menyebar luas hingga hutan adat Desa Renah Alai Kecamatan Jangkat ikut dirambah oleh kelompokkelompok eksodus tersebut.
Berawal dari pembalakan yang terjadi sehingga memicu kemarahan warga terhadap permasalahan atau pembalakan liar di area hutan adat mereka. Dari hal demikian terjadilah konflik yang berawal dari pembakaran pondok perambah oleh Warga Desa Renah Alai sehingga pemblokiran oleh kelompok-kelompok perambah di jalan lintas menuju kabupaten atau kota Merangin.
Adanya perbedaan kekuasaan dapat di pastikan menjadi sumber konflik dalam sebuah sistem sosial, terutama masyarakat yang kompleks dan hetoregen. Tidak hanya itu sumber daya alam yang langka (terutama sumber daya ekonomi) di dalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi di antara pelaku ekonomi yang memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi sumber daya tersebut tidak pernah merata. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bersaing. Kondisi seperti ini kerap menyebabkan terjdinya konflik.
hutan adat Desa Renah Alai sangat memperihatinkan di karenakan hutan yang dijaga dan dilestarikan oleh warga setempat dari dari ratusan tahun lalu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kini tidak lah memilki fungsi dan manfaat seperti biasanya. Karena telah terjadi pembalakan liar oleh kelompok eksodus yang menggarap lahan semaunya dan keadaan yang terjadi di lapangan bukan hanya penebangan liar tetapi juga terjadi pembakaran lahan oleh kelompk eksodus.
Terjadinya pembalakan liar oleh kelompok eksodus ini karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dari pihak Taman Nasional Kerinci Sebelat. Karena hutan adat desa Renah Alai yang terletak di Taman Nasional Kerinci Sebelat sudah dimasukan ke dalam area Taman Nasional sehingga hutan ini tidak boleh ada satupun dari masyrakat setempat maupun masyrakat lainnya untuk membuka lahan di area Taman Nasional Kerinci Sebelat.
Sesuai dengan undang-undang negara republik indonesia tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagai mana yang terdapat dalam pasal 17 yang berbunyi setiap orang dilarang:
1. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri.
2. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin mentri.
3. Mengangkut dan/atau menerima hasil tambang yang berasal dari kegiatan penebangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
4. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin dan
5. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Maka dari situ penulis berharap pemerintah berperan aktif dalam mencari resolusi konflik yang di alami masyarakat adat di hutan adat dan pemerintah juga harus menindak tegas kelompok eksodus perambahan hutan adat yang dapat memberi efek jera akan tetapi menjadi persoalannya adanya oknum atau aparat instansi sering terindikasi terlibat sebagai dalang maupun membackup perambahan hutan.
Bagi masyarakat adat supaya tidak kehilangan semangat dalam memperjuangkan hak nya dikarenakan perjuangan konflik lahan atau hutan adat adalah perjuangan yang panjang sehingga seringkali membuat masyarakat jenuh dalam memperjuangan konflik tersebut yang memiliki berbagai macam dinamika baik dari dalam dan luar masyarakat adat.
Dan teruntuk bagi Organisasi masyarakat ataupun kelompok yang melakukan advodkasi kepada masyarakat yang berkonflik supaya tetap berada digaris perjuangan dan tidak menghianati kepercayaan masyarakat dikarenakan adanya sebagian kelompok advokasi masyarakat yang terkadang menguras masyarakat melalui pungutan kolektiv bulanan bahkan adanya penghianatan yang menjual mentah masyarakat kepihak lawan masyarakan dengan cara mundur dari garis perjuangan dikarenakan sudah mendapat komisi yang mungkin besar dari pihak eksodus.
Idha Radi Prasetya adalah Mahasiswa UNJA Fakultas Pertanian Prodi Ilmu Kehutanan
Diskusi tentang inipost