Aksi unjuk rasa besar-besaran dengan estimasi massa sebanyak 2500 (Dua Ribu Lima Ratus) orang dan berasal dari tenaga honorer berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berada di lingkungan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Jambi adalah bentuk wujudnyata dari ungkapan perasaan kecewa yang sekaligus merupakan manifestasi dari amanat Pasal 28 C Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih jauh lagi dilihat dari sudut system pemerintahan dan system konstitusional Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat) serta diikuti dengan penggunaan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) artinya Gerakan tersebut adalah suatu signalement pemberi isyarat ada sesuatu yang hilang dari ekspektasi (harapan) hidup.
Bukan sekedar tentang kecemburuan akan stratifikasi ataupun status ssocial akan tetapi sebagai bahasa Alam pemberi isyarat atau peringatan bahwa Pemerintahan Provinsi Jambi telah salah kelola dan salah urus, atau dengan kata lain negeri ini dikelola dan diurus dengan tidak lagi mengerti akan cita-cita hukum (Reichtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar sepertinya tidak lagi dipandang dengan melakukan penghayatan terhadap bagaimana praktek dan suasana kebatinan (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu. Undang-Undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja.
Terutama memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam “pembukaan” Undang-Undang Dasar 1945 “Negara” “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Diprediksi orasi pada gerakan aksi unjuk rasa yang akan dilaksanakan tersebut adalah suatu bentuk nyata dari suara tuntutan perwujudan keadilan sosial yang terlaksana dengan berkiblat pada hukum sebagaimana indikator yuridis daripada Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Sekaligus merupakan ungkapan krisis kepercayaan atas kebijakan publik yang ditenggarai jauh dari sentuhan azaz yang beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan atau memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).
Dalam konteks penyelenggaraan negara oleh Pemerintahan Provinsi Jambi secara normative azaz tersebut (AUPB) dengan tanpa terkecuali akan berlaku pada tiga pilar trias politica yang ada dan dianut di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung azaz tersebut (AUPB) setidak-tidaknya termaktub dalam 7 (Tujuh) (tujuh) Undang-Undang (UU), yaitu: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN 1986) sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN 2004).
Selanjutnya kiblatnya para penyelenggara tersebut tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU Anti KKN 1999), UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN 2014), UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (UU PB 2009), UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda 2014) serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP 2014).
Secara eksplisit pengaturan AUPB dapat ditemukan sedikitnya tersebar di dalam 12 (dua belas) Pasal pada UU AP 2014, yaitu Pasal 1, 5, 7, 8, 9, 10, 24, 31, 39, 52, 66, dan 87. Selain itu, UU AP 2014 juga menempatkan AUPB sebagai norma yang terbuka, artinya UU tetap mengakui kekuatan mengikat dari AUPB yang tidak tertulis.
Ridwan HR dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara (hal. 234), berpendapat bahwa Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) adalah azaz-azaz umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, terhormat dan bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang serta tindakan sewenang-wenang.
Dimana seyogyanya AUPB ditetapkan dan dinormakan untuk dipergunakan sebagai sesuatu acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan suatu keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terkecuali untuk menghindari pemikiran ambigu ataupun dengan pandangan yang bersifat multy tafsir terhadap defenisi hak dan kewenangan yang melekat erat pada kedudukan dan jabatan.
Merujuk dan/atau mengacu pada pandangan yang dikemukakan oleh Thomas R Dye dengan pendapat yang menilai dengan kalimat sederhana “is whatever government choose to do or not to do” atau yang berarti “apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”.
Pengertian tersebut menekankan bahwa kebijakan publik adalah hal-hal mengenai perwujudan atau tindakan. Kebijakan publik bukanlah pernyataan tentang sekedar sebuah keinginan dari pejabat atau pemerintah semata. Salah satu contohnya menyangkut nasib tenaga honorer yang akan melakukan aksi turun ke jalan tersebut.
Di samping itu, pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan juga adalah kebijakan publik. Sebab, hal itu memiliki pengaruh atau dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Hal senada juga dikemukakan oleh Chandler dan Plano yang mengartikan kebijakan publik adalah sebuah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada. Tujuannya untuk memecahkan masalah yang ada di publik atau pemerintah. Kebijakan publik juga sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah. Hal itu dilakukan demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung di dalam masyarakat. Supaya mereka tetap bisa hidup. Serta ikut berpartisipasi di dalam pembangunan publik secara luas.
Secara yuridis Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur sebagaimana ketentuan pada Pasal 5 yang menetapkan Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan asas legalitas, asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan AUPB.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 10 Undang-Undang dimaksud setidak-tidaknya menyebutkan ada 8 (Delapan) macam indikator AUPB dengan salah satunya Asas Kepastian Hukum, dengan defenisi yuridis sebagaimana pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang dimaksud memberikan pengertian Azaz Kepastian Hukum adalah azaz dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya yaitu Azaz kemanfaatan yang dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Administrasi Pemerintahan diartikan sebagai suatu manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: kepentingan individu yang satu dengan individu yang lain, kepentingan individu dengan masyarakat, kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing, kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat, kepentingan generasi sekarang dengan generasi yang akan datang, kepentingan manusia dengan ekosistemnya; dan kepentingan pria dan wanita.
Sebagaimana pada Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf g UU Administrasi Pemerintahan Azaz kepentingan umum adalah azaz yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif. Azaz kepentingan umum atau azaz penyelenggaraan kepentingan pada dasarnya menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak.
Menurut doktrin hukum, prinsip AUPB dibedakan menjadi dua yaitu prinsip-prinsip yang bersifat prosedural dan bersifat substansial. Prinsip yang bersifat prosedural yaitu berhubungan dengan proses pengambilan kebijakan, misalnya kewajiban penyelenggara pemerintahan untuk bertindak imparsial atau tidak memihak (obligation of impartiality) dalam membuat kebijakan, pengakuan hak untuk membela diri, dan kewajiban pembuat kebijakan untuk memberikan alasan–alasan.
Sedangkan prinsip yang bersifat substansial berkaitan dengan materi atau isi dari kebijakan tersebut. Bahwa materi atau isi dari kebijakan yang dibuat hendaknya memperhatikan prinsip persamaan (principle of equality), prinsip kepastian hukum (legal certainty), dan pelarangan penyalahgunaan wewenang (prohibition of ‘machtsafwending’), kewajiban untuk berhati-hati (duty of care), dan prinsip berdasarkan alasan (principle of reasonableness).
Sebagaimana AUPB demikian juga halnya dengan fiksi hukum agar keberadaannya akan benar-benar sebagai implementasi daripada penerapan paham yang dianut oleh negara yaitu dengan sebutan sebagai negara hukum (recht staat) atau nomokrasi, maka secara konstitusional azaz tersebut telah dinormakan di dalam penjelasan atas ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan yakni “Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya”.
Secara normative gerakan aksi yang akan dilaksanakan sebagaimana pada surat bernomor 04/PADD/HONORER-JBI/V/2025 yang ditujukan kepada Kepala Satpol PP Provinsi Jambi sebagai penerima, dengan pokok surat Permohonan Pengamanan, terhadap aksi unjuk rasa yang akan dilaksanakan di dua lokasi berbeda yaitu di Lapangan Kantor Gubernur dan di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Akan tetapi tidak terlihat adanya tujuan surat tersebut juga disampaikan kepada pihak Kepolisian sebagaimana lazimnya pada sebuah pemberitahuan aksi unjuk rasa.
Apapun cerita dan caranya akan dilaksanakan itu adalah suatu bentuk perwujudan nyata suara perjuangan cita-cita luhur dan mulia dari sebuah keinginan agar baik sebagian maupun secara keseluruhan daerah yang ada di Provinsi Jambi diurus dan dikelola secara benar dan tepat serta dilakukan oleh orang-orang yang mampu berpikir dan mengerti serta memahami akan roh system pemerintahan dan system konstitusional yang telah dinormakan pada penjelasan UUD 1945.
Hingga dari situ akan dapat diakhiri penilaian dengan preseden jelek terhadap Pemerintah yang dinilai sebagai pelaku utama perbuatan melawan hukum terbesar dan terbaik yang disebabkan karena kebijakan dilakukan dengan didasarkan oleh adanya inisiatif pemenuhan kepentingan individu atau diri sendiri, yang jelas pasti akan menjadi ajang terjadinya berbagai benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat yang semakin tinggi.
Dengan berbagai bentuk penyimpangan tindakan pemerintah seperti perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), dan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir), atau kesewenang-wenangan (willekeur), dapat terjadi dan menyebabkan Hak-Hak Azazi warga negara terlanggar atau terabaikan.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di negeri Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya menjamin dan mengakui hak atas penerapan prinsip pemerintahan yang baik, sebagai bagian dari Hak Azazi Manusia (HAM) yang bersifat fundamental (fundamental rights).
Akan tetapi kenyataannya pada beberapa point dari berbagai fakta yang ada dapat ditarik kesimpulan untuk kalangan Pemerintah, seakan-akan azaz-azaz sebagaimana diatas tidak berlaku, bahkan terkesan pemerintah telah dijadikan sosok kebal hukum bahkan sama sekali tidak tersentuh oleh tajamnya mata pedang hukum yang diisyaratkan sebagai pedang keadilan.
Dengan menggunakan kaidah semiotika (penandaan) dimana baik secara implisit maupun secara eksplisit tergambar keadaan penegakan hukum yang terjadi justru menyuguhkan suatu pola pendidikan untuk menciptakan suatu rasa tidak percaya kepada ataupun krisis kepercayaan terhadap hukum itu sendiri, dengan asumsi bahwa Hukum Tajam Kebawah Tumpul Keatas, terutama kepada Pemerintahan.
Ironisnya justru pemerintahlah terindikasi sebagai pelaku perbuatan melawan hukum yang terbaik,dan professional yang menafikan azaz persamaan hak dan fiksi hukum beserta AUPB, salah satu contoh nyata dugaan terhadap pemerintah sebagaimana diatas adalah keberadaan kebijakan yang menjadi produk unggulan industri unjuk rasa yang justru dilakukan oleh orang-orang yang berada di lingkungan Pemeritahan itu sendiri.
Gerakan yang menginginkan terbukanya ruang keadilan hak manusiawi dengan cara menakar kadar kesadaran Hukum Pemerintahan Provinsi Jambi atau cara tertentu guna menghilangkan dalih dan dalil yang digunakan sebagai alat utama dalam berbagai upaya membutakan mata hukum untuk melihat sebuah kebenaran yang terbungkus oleh selimut tebal pembenaran keberadaan Barisan Pengukur Jarak Kedekatan (BAPERJAKAT), terhadap Penguasa.
Seakan-akan fiksi hukum benar-benar telah terdegradasi ataupun terelemenasi dari sifat-sifat hukum yang menurut para ilmuan, hukum itu sendiri memiliki sifat mengatur dan mengikat serta memaksa, dengan tanpa ada pengecualian sama sekali (Equality before the law).
Diskusi tentang inipost