Oleh: Bahren Nurdin, Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan
AMPAR.ID, JAMBI – Saya tegaskan, dalam konteks berbangsa dan bernegara, maka Pancasila adalah ‘kitab’ rujukan kebangsaan. Dalam konteks beragama, jadikanlah kitab agama masing-masing sebagai rujukan dan pedoman untuk menjalankan ajarannya. Pun, Pancasila telah menempatkan unsur keyakinan pada sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Cara berpikirnya sederhana, jika rujukan kebangsaan itu diletakkan di salah satu kitab agama tertentu, maka khawatir agama lain tidak membaca kitab tersebut. Tapi, saya yakin semua agama tidak ada yang melarang untuk membaca ‘kitab’ Pancasila. Sekali lagi, dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Melalui artikel kecil ini, saya hanya ingin kembali menegaskan bahwa Pancasila sudah final sebagai pegangan utama bangsa ini dalam menjalankan kehidupan berabangsa dan bernegara. Final artinya tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Isi dan nilainya telah sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Nilai-nalai yang ada di dalamnya telah pula berasal dari nilai-nilai luhur berbagai suku bangsa dan budaya di negeri ini. Pancasila terlahir dari rahim kebangsaan yang kokoh.
Maka dari itu, Pancasila harus ditempatkan sebagai ‘kitab’ yang isi harus dilihat sebagai perintah yang setiap orang ‘wajib’ menjalankannya. Setiap isi dan butir-butir yang terkandung di dalamnya harus ditempatkan sebagai keharusan untuk dilaksanakan. Jika tidak, maka akan manjadi pelanggaran yang memiliki konsekuensi hukum. Singkatnya, jika tidak dijalankan harus ‘dihukum’.
Lebih dari itu, seyogyanya Pancasila harus betul-betul diyakini oleh rakyat negeri ini sebagai nilai dan aturan main kebangsaan yang dijadikan ‘jalan yang lurus’ dan petunjuk yang benar. Keyakinan itu harus sampai pada hati sanubari setiap ruh yang hidup di Negeri ini; dari pejabat hingga rakyat biasa.
Jika demikian, banyaknya persoalan kebangsaan kita yang muncul saat ini, jangan-jangan kita telah banyak melanggar dan mengabaikan ayat-ayat yang ada pada ‘kitab’ Pancasila. Kita meyakini tapi belum sepenuhnya menjalankan apa yang diyakini. Kita membaca dan melafalkannya tapi sama sekali tidak sampai pada hati dan nurani; sebatas mulut saja.
Agaknya ini biangnya. Kita mengabaikan apa yang seharusnya dijalankan dengan baik. Lima sila ini sepatutnya tidak boleh absen dalam setiap tindakan dan perbuatan kebangsaan. Lima sila ini menjadi sumber hukum yang kokoh bagi setiap anak bangsa. Tapi hari ini, harus kita akui ada begitu banyak aksi-aksi dan narasi yang kontroversi sehingga Pancsila dikibiri.
Lihat saja, banyak dari kalangan millenial saat ini yang sudah tidak mampu melafakan sila-sila Pancasila. Itu artinya, jangankan memahami dan melaksanakan nilai-nilai isi kandungannya, membacanya saja pun sudah tidak. Pancasila sudah dilempar jauh dari kehidupan berbangsa saat ini.
Lihat saja, anak-anak negeri ini sudah semakin terbiasa saling bermusuhan antar agama, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan sehingga dengan mudah membunuh dan menganiaya, pertikaian antar kelompok dan golongan semakin menganga karena ‘Persatuan Indonesia’ tidak lagi menjadi pertimbangan, mengedepankan pendapat sendiri tanpa peduli dengan pendapat orang lain karena musyawarah dan mufakat sudah menjadi barang langka, dan nilai-nilai keadialan semakin ‘mahal’ di meja pengadilan.
Tentu hal ini tidak boleh terus terjadi. Saatnya masing-masing kita mengkoreksi diri dan kembali ke jalan yang sudah Pancasila buatkan. Dengan sangat yakin, para pendiri bangsa ini telah merumuskan Pancasila dengan hati yang jernih dan tujuan luhur untuk bangsa ini. Nilai-nilai kebaikan di dalam sitiap silanya telah dipertimbangkan dan dikaji sedemikian rupa. Tinggal lagi bagaimana kita sebagai penerus negeri ini menjalankannya.
Akhirnya, Pancasila adalah ‘kitab’ kebangsaan yang tidak perlu ‘diotak-atik’ lagi dalam konteks menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala keragaman yang dimiliki rakyat ini sudah diikat dan disatukan oleh nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Selamat Hari Lahir Pancasila#
(*/red)
Diskusi tentang inipost