Rencana aksi unjuk rasa yang akan dilakukan oleh ± 2500 orang tenaga hororer dilingkungan Setda Pemerintahan Provinsi Jambi diikuti dengan beredarnya issue tentang adanya upaya dari sejumlah oknum yang seakan-akan tidak mengerti makna Demokrasi dan Hak Azazi Manusia (HAM).
Dimana para oknum dimaksud telah dengan sengaja menghalangi pelaksanaan amanat konstitusional yang berlaku pada sebuah negara yang menganut paham Negara Hukum (rechtstaat).
Issue berikutnya menyebutkan adanya semacam kegiatan Mediasi ataupun Negosiasi hingga merubah jadwal aksi yang semula direncanakan dilakukan pada Senin 19 Mei 2025 berubah menjadi hari Selasa 20 Mei 2025.
Perubahan tersebut terjadi setelah adanya pertemuan antara Ketua dan para Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi dengan Ketua beserta pengurus Aksi Damai yang dimaksud.
Perubahan tersebut tidak hanya tentang jadwal ataupun waktu pelaksanaan hak warga negara tersebut akan tetapi juga merubah sebutan (nomenclature)nya yang semula dikatakan sebagai aksi damai berubah menjadi Acara Rapat Akbar Honorer Provinsi Jambi. Semacam suatu legitimasi bentuk kesadaran hukum tentang penyelenggaraan negara yang demokratis.
Jika issue tersebut terbukti secara syah dan meyakinkan benar-benar telah terjadi suatu langkah Mediasi ataupun Negosiasi artinya secara yuridis dapat ditarik suatu kesimpulan yang akan melahirkan penilaian dengan preseden jelek terhadap kredibiitas Pemerintahan Provinsi Jambi.
Dimana baik secara de jure maupun defacto Provinsi Jambi telah salah kelola dan salah urus, ataupun disinyalir pada setiap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah masyarakat telah mempergunakan hak suara dengan cara yang salah.
Kesalahan pada cara berpikir masyarakat berbuah pada kesalahan cara berpikir pemerintah atau dengan bahasa filosofis yang menyebutkan bahwa “Kwalitas Pemerintah Cerminan Kwalitas Rakyatnya”.
Kekeliruan dalam menterjemahkan konsep keyakinan yang mengajarkan bahwa Suara rakyat Suara Tuhan (Vox populi Vox Dei) akan melahirkan pergeseran makna ataupun terminology yang berubah dengan suatu bentuk perubahan yang begitu signifikan hingga menjadi suara rakyat suara receh (Vox populi Vox Argentum).
Suatu pandangan keyakinan yang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembang biaknya paham Oligarki dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan kekayaan.
Baik sebahagian maupun secara keseluruhan akhir dari kekeliruan tersebut menempatkan masyakat terbelenggu dalam impian tanpa akhir atau dengan analog masyarakat tersandra dalam suatu hukuman tanpa kepastian hukum.
Mediasi dan/atau Negosiasi sebagaimana issue yang beredar ditengah-tengah masyarakat, baik yang dikatakan dilakukan oleh barisan Pejabat Daerah ataupun Penyelenggara Negara dalam ruang lingkup Eksekutive maupun oleh yang berada di ruang lingkup Legislative menunjukan bahwa telah terjadi perjuangan dalam upaya untuk mempertahankan hak dan menegakan kebenaran yang disertai dengan upaya menghilangkan praktek budaya menghalalkan tindakan pembenaran.
Sekaligus merupakan petunjuk dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa guna memberikan suatu konsep untuk dipikirkan oleh orang-orang yang bisa berpikir tentang makna demokrasi yang telah berjalan tidak lagi sebagaimana pada konsep trias politica seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu dari Perancis atau John Locke dari Inggris yang membagi kekuasaan demokrasi menjadi tiga level kekuasaan berbeda, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Akibat dari perkembangbiakan virus-virus oligarki yang tidak terkendali menimbulkan akibat lahirnya perjuangan untuk menempatkan prinsip Suara Rakyat Suara Tuhan (Vox populi vox dei) agar kembali pada posisi semula atau menghendaki agar tidak terjadi perubahan ajaran dari semula dikatakan dengan sebutan triaspolitica berubah menjadi triaskorupsia.
Secara yuridis dan dengan menggunakan metode Semiotik gerakan tersebut dapat diasumsikan sebagai suatu pertanda yang mengisyaratkan bahwa Provinsi Jambi benar-benar telah salah urus dan salah kelola atau dengan persefsi lain “telah diurus dan dikelola oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dalam mempergunakan cara berpikir yang baik dan benar serta tepat”.
Pemberian isyarat atau bahasa alam yang seakan-akan menyebutkan bahwa Provinsi Jambi telah diurus atau dikelola oleh sekumpulan orang-orang yang sama sekali tidak mengerti, dan tidak memahami serta mengenal ruh-ruh konstitusional Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana mestinya.
Gerakan yang mendapatkan penolakan dari berbagai pihak tersebut merupakan suatu kumpulan fakta-fakta dari beberafa kumpulan fakta yang memberikan petunjuk berharga guna mengungkap bahwa kondisi yang terjadi tidaklah hanya sebatas ataupun sesederhana persoalan tentang tenaga honorer yang menginginkan atau menuntut keadilan.
Akan tetapi amat sangat jauh dari semua pemikiran bahwa Rapat Akbar Tenaga Honorer tersebut merupakan suatu bentuk garis arsiran dalam ilustrasi tentang perubahan warna dan wujud serta zat daripada paham serta keyakinan bangsa penganut Pancasila.
Yaitu tentang demokrasi yang kini dinilai telah berubah dan berkembang menjadi sebuah korporasi, berbentuk bangunan megah dengan semboyan atau slogan: “berasal dari kapitalis, oleh kapitalis dan untuk kapitalis.
Oleh karena itu berdemokrasi hanya bisa dikakukan oleh orang-orang yang berduit atau berada dalam lingkaran system pemerintahan Plutokrasi, sebab memang demokrasi dijadikan sesuatu yang berharga mahal atau berbiaya besar, atau hanya dapat dinikmati golongan yang termasuk pada Barisan Pengukur Jarak Kedekatan (BAPERJAKAT).
Akhirnya demokrasi tidak lebih dari sebuah bancakan atau wadah nafsu birahi bertahta bagi yang berharta dan bagi sebagian rakyat, demokrasi hanyalah harapan semu, karena tiap kali melakukan penggunaan hak suara seakan-akan telah dengan sengaja menempatkan diri dalam pasar gelap kekuasaan yang menyuguhkan sajian berupa pepesan kosong belaka ataupun isapan jempol semata.
Seakan-akan mengajarkan kepada masyarakat bahwa syarat utama mendapatkan kekuasaan adalah kebohongan dan kemahiran menebar janji-janji palsu penuh harapan.
Walaupun disadari dengan suatu keyakinan terhadap suatu kesimpulan ilmiah yang menyatakan bahwa dimana ada kebohongan disitu ada kejahatan. Karena Kebohongan itu sendiri adalah induk dari segala induk kejahatan.
Konsep sesat yang seakan-akan memberikan pengertian politik adalah sesuatu keinginan yang menghendaki adanya tindakan menghalalkan segala cara demi merebut dan mempertahankan kekuasan serta kekayaan.
Termasuk dengan melakukan sesuatu tindakan penghalalan terhadap paham Hipokrit (Kemunafikan).
Pada perkembangannya, demokrasi telah dimaknai variatif karena sangat bersifat interpretative subyektif. Setiap penguasa berhak untuk mengklaim pemerintahannya menganut paham negara demokratis, walaupun nilai yang dianutnya atau pada praktik politik kekuasaannya amat sangat jauh dari prinsip dasar demokrasi bahkan lebih cenderung terjebak dalam system Oligarki, ataupun Plutokrasi yang penuh berisikan ruh-ruh autoritarian personality (keperibadian otoriter).
Suatu keperibadian yang dicirikan oleh suatu sikap kecenderungan untuk melayani tokoh pihak yang berkuasa dengan suatu ketaaan dan rasa hormat yang tidak dipersoalkan.
Dimana secara konsepsional, istilah tersebut berasal dari karya tulis Erich Fromm, yang biasanya digunakan sebagai sebutan bagi orang yang memamerkan kondisi kepribadian yang sadis dan menindas terhadap orang bawahan mereka.
Benar-benar suatu keadaan yang menunjukan demokrasi telah berada pada titik nadir atau suatu tata letak yang tidak lagi masuk akal atau merupakan suatu hal yang mustahil (Absurd).
Apalagi jika hal tersebut ditambahkan dengan definisi politik yang sangat pragmatis yakni upaya untuk meraih kekuasaan semata.
Bahkan dengan sengaja menjadikan sebuah pemikiran yang memandang demokrasi wajib diisi dengan sesuatu konsep yang bersifat Absurditas.
Akan tetapi dengan sengaja telah melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya demokrasi yang mengandung absurditas berpotensi besar akan menimbulkan sesuatu malapetaka bagi peradaban.
Dengan demikian politik demokrasi semacam itu adalah sebuah katarsitas atas birahi nafsu kekuasaan tanpa berpijak kepada nilai-nilai moral dan etika agama. Manusia memang secara genetik memiliki nafsu untuk berkuasa, serta lebih cenderung mengabaikan bahwa diatas hukum dan kekuasaan ada etika, moral dan akhlak serta adab sebagai panglima besar dari segala panglima kekuasaan.
Setelah demokrasi diterjemahkan secara ambigu atau dengan pandangan multy tafsir bahkan suatu pandangan yang dimaknai sebagai antropomorpisme, yang dalam pengertian sederhana yaitu menjadikan manusia sebagai Tuhan yang berhak menciptakan hukum dan aturan.
Multy tafsir terhadap adagium suara rakyat suara Tuhan, yang menganggap Tuhan tidak memiliki peran sedikitpun dalam konsep dan praktek demokrasi, dengan begitu maka nilai-nilai moral tidak lagi berlaku sama sekali, dan berawal dari sinilah orang-orang yang berkarakter curang, pembohong, koruptif, manipulatif akan dengan begitu mudah bertengger diatas kursi-kursi kekuasaan demokrasi.
Rapat Akbar Tenaga Honorer tersebut tidak hanya sesederhana sebagai sebuah terjemahan dari suatu pandangan yang menilai bahwa Pemerintah adalah pelaku pelanggaran hukum terbesar dan terbaik atau dengan kata lain setidak-tidaknya Pemerintah adalah sosok lembaga Pelaku Utama Pelanggaran terhadap AUPB.
Akan tetapi merupakan narasi dari sebuah penilaian atau merupakan upaya nyata dari orang-orang baik yang mencoba ingin mengubah nasib hidupnya dengan masuk ke dalam pusaran busuk demokrasi yang justru seringkali mereka dianggap sebagai sosok yang aneh dan terpinggirkan. Bahkan banyak orang-orang baik yang oleh pusaran busuk demokrasi dijebak dan dipaksa untuk menjadi orang jahat.
Memang secara normative dalam sistem demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kekuasaan, tanpa ada standar moralitas tertentu, oleh karena itu etika dan moral serta agama hanya berguna pada saat menjelang kaum pemerkosa demokrasi mendapatkan kekuasaan.
Sistem Pemerintahan yang katanya demokrasi dijadikan tidak lebih dari sebagai suatu ajang atau alat bagi pelampiasan syahwat kekuasaan tanpa landasan etika moral serta menghalalkan berbagai bentuk penipuan, kecurangan, kebohongan, pengkhianatan dan kampanye hitam yang akan berakhir dengan paham materialisme.
Suatu bentuk kekuasaan yang tidak lagi memperdulikan keabsahan legitimasi yang diterima seiring dengan tindakan menghadirkan Tuhan sebagai saksi saat menerima hak memiliki kekuasaan, apakah benar berasal dari sumber utamanya yaitu tradisi, kharisma, dan instrumen rasional ataukah suatu pemikiran hipokrit yaitu pemikiran yang penuh berhiaskan kemunafikan.
Sepertinya perubahan agenda (jadwal dan sebutan) gerakan manusiawi tersebut merupakan suatu potret buram tentang peragaan busana pada sebuah catwalk (tempat berjalan) dengan bentuk penampilan Legislative dan Yudikative telah menjadi gadis cantik (Pretty Girl) yang sedang berbagi peran melayani nafsu bejat Eksekutive yang sedang mencapai puncak libido dari birahi kekuasaan yang menggebu-gebu didalam istana kekuasaan.
Suatu bentuk keintiman Threesome yang dipahami sebagai “interaksi seksual antara tiga orang di mana sekurang-kurangnya seorang terlibat dalam tingkah laku seksual secara fizikal dengan kedua-dua individu lain, ” yang teramat sangat sensual (kenikmatan yg bersifat naluri).
Jika pesta demokrasi diyakini sebagai suatu ungkapan kebebasan menentukan pilihan maka perlu diingat ungkapan Jean-Paul Sartre, sosok seorang filsuf eksistensialisme yang terkemuka, yang menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas.
Dalam pandangannya kebebasan, adalah kemampuan untuk membuat pilihan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Namun gerakan massa tersebut menunjukan kebebasan itu terasa menjadi telah menjadi paradoks yang penuh retorika. Apakah kita benar-benar bebas jika kotak suara hanya menjadi formalitas untuk menyetujui satu pilihan yang sudah ditentukan?
Mengutip ungkapan Sartre mungkin akan menggambarkan situasi ini sebagai absurd (mustahil) sebuah keberadaan tanpa makna, di mana tindakan memilih telah kehilangan esensi sejatinya, sesungguhnya gerakan demokratis yang akan dilaksanakan tenaga honorer tersebut secara tidak langsung mengingatkan atau mengajarkan bahwa demokrasi bukanlah hanya tentang prosedur, akan tetapi tentang memberi ruang bagi keberagaman pilihan dan kebebasan.
Seperti yang diungkap oleh Sartre, kita harus menerima kebebasan kita, bahkan ketika itu sulit. Namun, kebebasan itu membutuhkan ruang untuk bernapas, dan ruang itu adalah keberadaan pilihan. Serta tidak sekedar pemenuhan tuntutan Politis akan tetapi tentang diri pribadi sebagai seorang manusia, apakah telah puas dengan suka rela membelenggu diri pada selembar benang Absurditas serta menghalalkan Hipokrit sebagai asap suci dupa-dupa spiritual kesesatan kuasaan?
Diskusi tentang inipost