AMPAR.ID – Sehubungan dengan issue yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan diikuti dengan pemberitaan pada media massa tentang indikasi prilaku koruptif oknum Bupati Tanjung Jabung Barat yang melakukan penipuan terhadap seorang pengusaha dengan modus operandi meminta pembayaran uang muka atas transaksi jual beli atas proyek yang akhirnya disepakati sebesar 12 % (Dua Belas persen) dari nilai proyek diperjualbelikan tersebut.
Mengingat bahwa karya jurnalistik itu sendiri adalah laporan terbuka, apalagi merujuk pada pandangan yang menilai bawah jurnalis merupakan profesi yang dinilai sebagai profesi yang sangat prestisius, bahkan disebut sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah Eksekutif, Legislaif dan Yudikatif.
Pemberitaan sejenis di negara ini bukan lah merupakan satu-satunya yang dilaporkan secara terbuka melalui karya jurnalistik yang memberikan gambaran bahwa prilaku jahat ataupun prilaku koruptif semacam itu sudah menjadi suatu kebudayaan yang mewabah dan merubah warna peradaban bangsa.
Begitu tajamnya pena wartawan, sampai-sampai tokoh dunia sekaliber Napoleon Bonaparte seorang Jendral Perang Prancis menyatakan: “Aku lebih takut menghadapi pena wartawan dari menghadapi seribu ujung bayonet musuh. Suatu ungkapan yang merupakan suatu signalement yang memberikan gambaran tentang betapa berpengaruhnya tulisan wartawan dalam memberikan laporan.
Apalagi pemberitaan tersebut bukan merupakan delik aduan, maka sudah saatnya Aparatur Penegak Hukum baik pihak Polda maupun Kejaksaan Tinggi Jambi menindak lanjutinya dengan melakukan proses hukum guna mewujudkan secara nyata kemanfaatan hukum sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum yang merupakan ekspektasi masyarakat. Tanpa kemanfaatan hukum tidak akan pernah ada keadilan dan kesejahteraan hanyalah sebuah ilusi dalam dunia fatamorgana.
Hukum yang dengan azaz dan norma hukum pembuktian mampu menghentikan perseteruan kepentingan para pihak demi terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tujuan dan konsep yang dianut oleh negara yaitu negara kesejahteraan (welfarae staate).
Dengan menciptakan suasana atau menanamkan kredo kepada segenap lapisan masyarakat bahwa Hukum adalah panglima tertinggi dari semua kekuasaan apapun bentuknya, Hubungan hukum dan kekuasaan hanya sebatas hubungan kontrol sosial bukan berarti kekuasaan dapat menaklukan hukum berada dibawah kekusaan.
Suatu karakteristik bentuk hubungan antara keduanya (Hukum dan Kekuasaan) sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Hukum yang mampu mengembalikan pandangan keliru sejumlah orang yang memandang bahwa kekuasaan jabatan sebagai sarana mendapatkan rezeki guna memperkaya diri, identik dengan pandangan Moctar Kusumaatmaja diatas kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, akan tetapi kekuasaan menuntut pengabdian dan pertanggungjawaban dengan segala akibat hukumnya sesuai dengan ikrar suci Sumpah Jabatan yang menghadirkan Tuhan sebagai saksi saat diucapkan.
Hukum dan negara harus hadir dan tidak boleh kalah ataupun hukum harus memenangkan perseteruan dengan penganut ajaran budaya koruptif serta hukum tidak boleh kalah menyerah di bawah kekuasaan, apalagi sampai menjadi budak-budak yang diperalat oleh kebuasan nafsu dan naluri kekuasaan yang menaklukan nurani dan nalar akal sehat.
Serta hukum yang mampu mengakhiri suatu pandangan yang identik dengan ungakapan yang pertama kali dicetuskan oleh Plautus dalam karya tulisnya yang berjudul Asinaria (195 SM), dengan sebutan Homo Homini Lupus est yang diartikan dengan Manusia adalah Serigala bagi Manusia lainnya.
Suatu pandangan yang identik dengan ungkapan Aristoteles bahwa Manusia adalah Hewan yang bermasyarakat (Zoon Politicon). Kedua ahli dimaksud terkesan sepakat menggunakan ungkapan dengan menggunakan selain manusia sebagai simbolisasi dari pandangan mereka masing-masing.
Tetapi pandangan Plautus lebih ekstrim yang menggunakan binatang buas (Serigala) sebagai gambaran ataupun ilustrasi dari kegelapan pikiran yang diselimuti oleh tebalnya kabut gelap alam pikiran yang dikuasai oleh kecacatan yaitu cacat nalar dan cacat logika serta sesat pikiran yang melahirkan prilaku manusia identik dengan naluri binatang buas.
Alam pikiran dengan motivasi demi stratifikasi sosial dengan perstigenya, Jika diterjemahkan secara mendalam ilustrasi tersebut memberikan gambaran bahwa manusia dengan budaya koruptifnya lebih buas dan lebih kejam daripada binatang buas.
Dimana tidak pernah ada cerita ataupun dongeng yang menceritakan tentang binatang buas dengan kebuasannya menggunakan ketajaman taring serta kekerasan cengkeraman dari kuku-kukunya memangsa sesama binatang buas.
Sementara manusia dengan kekuasaannya tega menghisap darah dan menjarah rezeki atau memangsa sesama manusia yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara dengan segala akibat hukumnya termasuk dengan melupakan latar belakang pendidikan (basic education) dan status sosial serta mengabaikan harkat dan martabat, serta rasa malu.
Kondisi pemikiran yang membutuhkan peranan hukum dalam menimbulkan efek jera dan memberikan suatu pencerahan bahwa binatang buas yang tidak memiliki rasa malu saja tidak pernah memangsa sesama binatang buas. Serta memerdekakan pemikiran pengidap penyakit budaya koruptif dari keras dan tajamnya belenggu-belenggu budaya koruptif.
Penegakan hukum yang tanpa pandang buluh dengan prinsif persamaan di hadapan hukum dengan segala akibat ataupun konsekwensi hukumnya yang mampu untuk mengembalikan pola pikiran manusia yang berada pada posisi semula yaitu pemikiran yang menyadari bahwa manusia adalah teman bagi sesama manusia, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya sebagai yang dicetuskan oleh Seneca dengan pandangannya.
(min)
Diskusi tentang inipost