Oleh: Nurul Fahmy
Obsesi Sultan Thaha Syaifuddin untuk mendapatkan bantuan Turki dalam menghadapi Belanda di Jambi, dimanfaatkan oleh segelintir orang guna menguntungkan diri sendiri.
Dalam situasi politik lokal dan perang yang tak menentu sejak akhir abad ke-19 sampai awal tahun 1904 itu, muncul para pakkang politik, intel Melayu dan manusia sejenisnya yang mendaku bisa menyelesaikan masalah, termasuk menghubungkan Jambi dengan Turki.
Demikianlah, beberapa bulan setelah terbunuhnya Sultan pada 26 April 1904 oleh Belanda di Betung Berdarah, muncul seorang
pria berkebangsaan Hungaria yang mengaku sebagai utusan Turki, Karl Hirsch, alias Abdullah Yusuf di Jambi.
Sesaat, kemunculan pria ini membawa angin segar terhadap perlawanan rakyat Jambi. Sebab sebelumnya, sudah tiga kali Sultan mengutus orang untuk berjumpa Otoritas Turki, baik melalui Konsul di Singapura maupun langsung ke Istanbul. Namun sepanjang waktu itu, tak sekali pasukan Turki menampakkan batang hidungnya di Jambi.
Utusan pertama yang dikirim ke Singapura malah berfoya-foya di negeri itu dan menghabiskan uang yang diberikan Sultan. Utusan itu dilaporkan mengipas-ngipaskan uang yang diberikan, hingga tak bisa pulang lagi ke Jambi. Sementara pesan Sultan tak sampai.
Utusan kedua yang diperintah Sultan pada tahun itu juga berangkat ke Istanbul. Tak lama muncul laporan; utusan itu malah berangkat haji ke Makkah dengan bekal uang 13 ribu gulden dari donasi yang dikumpulkan untuk membantu perlawanan rakyat Jambi. Kabar lain menyebutkan, utusan itu kemudian diperkarakan karena menyelewengkan dana bantuan dan tak lama dia masuk penjara.
Obsesi Sultan dan para pembesar Jambi–terhadap Turki–inilah yang dimanfaatkan oleh Karl Hirsch. Pria berkulit gelap yang selalu menggunakan tarbus berjumbai merah serta seragam pasukan Turki dengan sederet tanda jasa itu, datang untuk mengelabui para pembesar Jambi yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Di banyak kesempatan, pria bermulut besar ini berkoar-koar bahwa dirinya merupakan utusan Turki. Di waktu bersamaan dia juga mengatakan, bahwa dirinya ditawari datuk-datuk di Jambi dan Palembang sebanyak 5 ribu gulden untuk mendapatkan bantuan Turki.
Laporan Belanda menyebutkan, pria ini sebenarnya adalah penipu. Dia beberapa kali terpantau mendatangi kawasan pelacuran. Berkelana di Cina, Batavia, Singapura dan Shanghai. Menggebuk pegawai kereta api dan sempat menodongkan pistolnya ke seorang anak buah kapal dalam perjalanannya ke Jambi.
Menurut Belanda, Karl Hirsch berharap bisa menguras uang raja-raja yang gampang percaya bahwa dirinya adalah utusan Turki.
Pada September 1904, di Rumah Batu di kawasan Olak Kemang, dia berhasil mengumpulkan seratusan orang Jambi dan menyerukan perlawanan, mengangkat senjata menghadapi Belanda.
Sambil mengacung-acungkan segepok telegram yang dia sebut sebagai bukti dirinya adalah utusan Turki, si Karl ini meminta uang sebanyak 800 gulden guna membalas telegram agar Turki lekas mengirimkan kapal perang ke Jambi.
Duit segera dikumpulkan. Malam itu juga, terbit kesepakatan baru dari para pembesar Jambi, untuk “sama-sama mati dan sama-sama hidup” dalam melawan kumpeni.
Pagi harinya usai pertemuan itu, pasukan Belanda datang mengepung Rumah Batu. Sejumlah orang terbunuh dan sebagian lain ditangkap. Termasuk Abdullah Yusuf alias Karl Hirsch. Dia dikabarkan dikurung penjara selama 10 tahun oleh Belanda. Konsul Jenderal Turki di Batavia menolak bertanggung jawab atas aksi Turki gadungan itu.
Epik berdarah ini pernah dipentaskan oleh Teater AiR yang disutradarai Edi Mulyadi aka EM Yogiswara dalam lakon “Singa Kumpe” atau “Perjuangan Raden Mattaher” pada 2014 lalu di Taman Budaya Jambi.
Dalam lakon itu, selain Karl Hirsch ada peran “Intel Melayu” yang berpihak pada Belanda dan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi. Intel Melayu ini tak lain adalah kerabat kesultanan sendiri yang bernama Kemas Ngebi Puspoyudo Kadir.
Versi lain menyebutkan, Karl Hirsch ini sebenarnya adalah intel Belanda yang disusupkan ke Jambi untuk mencari tahu keberadaan sisa-sisa pembesar Jambi yang memberontak.
Pilkada Jambi
Praktik-praktik Karl Hirsch dan sejumlah utusan Sultan di atas, jamak kita jumpai dalam keseharian dalam konteks birokrasi di pemerintahan.
Dalam sebuah percakapan saya beberapa waktu lalu, seorang kontrakator mengatakan pernah ditelpon salah seorang Bupati di Jambi. Sang bupati mengatakan padanya, ada seseorang yang mengaku punya link langsung ke kementerian dan mengetahui seluk-beluk proyek. Dia bisa mengarahkan proyek di kementerian bernilai ratusan milyar ke Jambi asal sang bupati menyiapkan sejumlah uang pelicin.
Sang kontrakator yang dihubungi bupati segera berangkat. Usai disetor sejumlah uang di sebuah hotel terkenal di Jakarta, orang itu pamit ke toilet dan tak pernah kembali sampai sekarang. Uang melayang, proyek tak datang, orangnya menghilang.
Dan praktik itu–katakanlah ini adalah praktik intel Melayu–percaya tak percaya makin ramai jelang pilkada/pilgub ini. Bahkan sejak bakal calon berburu rekomendasi partai politik atau bisa jauh sebelum itu.
Tidak sedikit yang menepuk dada dekat dengan petinggi partai ini, sekjen itu dan ketum partai anu. Banyak juga yang mengaku bisa menjuluk rekom parpol untuk cakada. Padahal setidakhandarlah.
Praktik bual sana, cerita sini ini, sesungguhnya memang berlaku. Dengar sikit percakapan di sana, kemudian bercerita ke sini. Hasil pendengaran itu kemudian ditambah bumbu-bumbu “keakuan” dan analisa bodong supaya terkesan lebih privat dan hebat.
Motif dari praktik ini banyak modusnya. Ada untuk keuntungan materil, eksistensi diri dan tak sedikit yang demi cari muka. Prinsipnya sama dengan kisah burung pipit dan seekor cicak saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud. Setiap kicau di medsos itu penting, biar sedikit tapi kontinyu, yang penting cakada tau kemana dirinya berpihak.
Siapakah Intel Melayu itu? Dalam konteks politik kini, bisa jadi Intel yang dimaksud adalah saya (baca: kita). Jangan baper!!
Catatan: Kisah Karl Hirsch ini termaktub dalam sub judul “Abdullah Yusuf” buku “Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda yang ditulis Elsbeth Locher-Scholten.
Diskusi tentang inipost