AMPAR.ID, JAMBI – Ramai dikritik publik mengenai sejumlah pasal dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan klarifikasi soal respons negatif langsung mengalir karena banyaknya draf revisi UU Penyiaran kontroversial yang menuai kritik.
KPI mengatakan pihaknya bersama pemangku kepentingan sudah mendorong adanya revisi UU Penyiaran sejak 2010 silam.
“Revisi ini sangat penting dalam rangka menghadirkan ekosistem penyiaran yang sehat dan berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat, negara, maupun tumbuh kembangnya industri penyiaran Nasional,” tulisnya, dilansir dari siaran pers KPI, Jumat (31/5/2024).
Upaya Revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada prinsipnya, kata KPI, lahir dari masukan berbagai pihak, mulai dari kelompok masyarakat sipil (civil society), industri, akademisi dan pemerhati penyiaran lainnya.
“Secara resmi usulan revisi undang-undang ini sudah disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar,” kata KPI.
Berikut tiga usulan KPI atas revisi UU Penyiaran yaitu:
- Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO.
- Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital.
- Mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi.
“Tiga hal ini disuarakan KPI secara simultan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun dialog resmi setelah mendengar aspirasi berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Adapun rekam peristiwa yang dilakukan, KPI ini dapat diakses publik dalam website resmi KPI,” jelas KPI.
Katanya, lahirnya UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki dampak terhadap pola struktur dan dukungan manajemen kesekretariatan yang melemahkan posisi KPI di daerah sebagai sebuah lembaga negara.
“Atas beberapa diskusi yang melibatkan beberapa pihak, maka solusi terbaiknya adalah melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran,” kata KPI.
Alasan lain perlu revisi UU Penyiaran yakni kehadiran UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi itu mengoreksi sembilan pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Koreksi dimaksud berkaitan dengan perubahan beberapa kewenangan KPI dan tata laksana digitalisasi penyiaran yang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Penyiaran. Atas dasar itu juga dibutuhkan regulasi yang baru untuk penyiaran,” kata KPI.
Terkait dinamika Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, menurut KPI secara teknis RUU ini masih akan berproses sesuai dengan peraturan perundangan yang akan melibatkan segenap stakeholders.
Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran dan perubahan peraturan perundang-undangan, KPI mengatakan revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kebutuhan.
“Spirit dari revisi Undang-Undang Penyiaran ini tetap ingin menjamin ruang kebebasan bersuara dan berpendapat demi demokratisasi media dan penyiaran di Tanah Air,” katanya.
(Meli)
Diskusi tentang inipost