Pers merupakan salah satu pilar penting dalam negara demokratis. Saking pentingnya peranan pers, di Indonesia pers menempati posisi keempat sebagai pilar demokrasi atau fourth estate. Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat para tokoh nasional, salah satunya Jimly Asshiddiqie.
Mantan Ketua MK tersebut bahkan pernah berpendapat, bahwa pers merupakan salah satu roh dari demokrasi. Dirinya juga menyebut, kemerdekaan pers merupakan yang pertama dijamin oleh UUD 1945. Dengan peran dan fungsinya yang sangat vital, yakni sebagai kontrol sosial untuk menjamin proses akuntabilitas publik dapat berjalan dengan lancar, pers dianggap menempati posisi setara dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun sayangnya, hari-hari ini kemerdekaan atau kebebasan pers di Indonesia kian dipertanyakan. Pasalnya, beragam indikasi yang menyebabkan kemungkinan matinya kebebasan pers semakin nyata. Berbagai faktor seperti tindakan represif kekuasaan, intimidasi terhadap jurnalis, kondisi ekonomi, hingga kriminalisasi jurnalis menjadi indikator matinya kemerdekaan pers.
Catatan Kasus Kekerasan Jurnalis
Berdasarkan catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, setidaknya hingga 3 Mei 2025, terdapat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Di bulan Mei ini saja, tercatat sudah dua kasus kekerasan jurnalis. Kemudian di April 2025 tercatat 8 kasus dan jumlah kasus tertinggi pada Maret dengan 14 kasus.
Temuan yang terdata di awal tahun 2025 tersebut selaras dengan hasil survei yang dilakukan AJI pada Maret 2025 terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia. Hasil studi tersebut menunjukkan, 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital.
Bahkan beberapa kasus kekerasan yang terjadi terhadap para jurnalis sempat heboh dan menjadi sorotan publik. Adapun insiden kekerasan tersebut antara lain, teror yang dialami oleh jurnalis tempo pada 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana, yang berujung mundurnya Kapala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi.
Pada waktu itu, Francisca yang juga kerap menyampaikan informasi investigasi tentang kondisi negara saat ini dalam salah satu kanal YouTube Tempo, mendapat teror berupa kiriman kepala babi ke rumahnya. Tidak berselang lama, tepatnya 22 Maret, dirinya kembali menerima ancaman melalui pengiriman bangkai tikus.
Kemudian, pada tanggal 22 Maret 2025, tercatat kasus kekerasan lain yang cukup berat, yaitu dugaan pembunuhan terhadap seorang jurnalis perempuan berinisial J, di Banjarbaru, Kalimantan Selatan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota TNI Angkatan Laut.
Yang tak kalah mengerikan, yakni pembakaran rumah wartawan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Rico Sempurna Pasaribu pada pertengahan tahun lalu. Diduga hal ini ada kaitannya dengan berita yang baru ditulis oleh Rico.
Semua itu hanya sebagian catatan kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis. Masih banyak kasus lain yang mungkin tidak terungkap dan bahkan dalam banyak kasus, kekerasan terhadap jurnalis tidak diusut tuntas, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap kebebasan pers.
Indeks Kebebasan Pers
Deretan kasus kekerasan terhadap jurnalis belakangan ini, tentunya juga mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia. Hal itu tercermin dalam laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei lalu.
Tahun ini, indeks kebebasan pers di Indonesia tercatat semakin mengalami penurunan. Dari total 180 negara, posisi Indonesia kian merosot ke peringkat 127. Sebelumnya, pada 2024, Indonesia berada di peringkat 111 di dunia dan pada 2023 di peringkat ke-108.
Terlihat Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara bagian Afrika seperti Mali, Kenya, Zimbabwe, Chad, Gabon serta Burundi yang notabene merupakan negara miskin di dunia. Kemudian, dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain, Indonesia juga dibawah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, dan Timor Leste. Walaupun mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya, laporan ini cukup menyedihkan dengan predikat Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar.
Disrupsi Media & Tekanan Ekonomi
Tak bisa dipungkiri, jika kemajuan teknologi juga menjadi salah satu indikator menurunnya kemerdekaan pers di Indonesia. Munculnya berbagai platform digital dan media sosial seperti YouTube, Twitter, Facebook, Instagram dan Tiktok menyebabkan iklan yang menjadi tulang punggung pemasukan media beralih. Akibatnya, banyak perusahaan media mulai melakukan efisiensi.
Terbaru, beberapa perusahaan media nasional melakukan efisiensi, dampak dari tekanan ekonomi terhadap industri media. Dikutip dari berbagai sumber, MNC Group dilaporkan telah melakukan PHK terhadap 400 karyawan. Bahkan, I News telah menutup seluruh kantor biro daerah per 30 April 2025.
Kemudian, ANTV mengonfirmasi pemecatan 57 karyawan akibat restrukturisasi operasional. NET TV melakukan PHK massal setelah proses akuisisi MD Entertainment. Republika, juga merumahkan 60 karyawan termasuk 29 wartawan dalam rangka efisiensi operasional. Tidak hanya itu, media seperti RRI dan TVRI juga dikabarkan telah memutus kontrak kontributor berita di daerah akibat efisiensi.
Dalam laporan World Press Freedom Index 2025, RSF juga menyebutkan indikator ekonomi media berada dalam titik kritis. Ini menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan peringkat kebebasan pers.
Dampak dari disrupsi pers tersebut, masyarakat cenderung beralih ke media non konvensional dalam memperoleh informasi. Media sosial yang awalnya menjadi alternatif, kini justru menjadi pilihan utama. Tentu ini berdampak buruk terhadap kemerdekaan pers dan kualitas demokrasi.
Jurnalis yang terbiasa dituntut agar bekerja profesional, melaksanakan kode etik hingga menghasilkan karya jurnalistik berupa berita yang informatif, kredibel dan mendidik, tergantikan oleh konten kreator media sosial yang tidak memiliki standar dalam memproduksi karya berita atau informasi.
Kesimpulan
Dalam sejarahnya, pers yang bebas telah mewarnai perjalanan panjang kemerdekaan bangsa, dan cukup berkontribusi besar terhadap pembangunan bangsa. Pers memainkan peranan penting dalam mencerdaskan, mengungkap kebenaran, dan memperjuangkan keadilan. Ia menjadi simbol dari kebebasan berekspresi, hak atas informasi, juga sebagai sarana kontrol pada kekuasaan.
Maka, perjuangan untuk membela kemerdekaan pers merupakan tugas kolektif dan tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Ketika pers tidak lagi merdeka, maka rakyat kehilangan hak untuk bersuara.
Tanpa informasi yang kredibel dan adil, rakyat akan sulit mendapatkan informasi fakta serta mustahil bisa memperjuangkan kepentingannya.
Harus diakui, kebebasan pers di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ancaman kemungkinan hilangnya kemerdekaan pers di Indonesia semakin nyata. Oleh karena itu, keadaan ini perlu untuk disikapi dengan bijaksana.
Pemerintah harus menjamin dan melindungi kebebasan pers serta mendorong iklim yang sehat bagi praktik jurnalis. Media juga harus terus menjunjung tinggi etika, akurasi, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Masyarakat pun perlu didorong untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis.
Untuk memastikan demokrasi bisa terus hidup di negeri ini, diperlukan pers yang independen dan profesional. Ketika pers berani menyuarakan kebenaran dan rakyat berani memperjuangkan kebebasannya, maka demokrasi akan terus hidup dan berkembang.
Tanpa kebebasan pers, praktik demokrasi dapat tergelincir ke dalam perilaku otoritarianisme, karena tidak ada lagi mekanisme kontrol yang efektif terhadap kekuasaan. Akibatnya, demokrasi hanya menjadi simbol, sementara tirani tumbuh dalam senyap.
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia !
Diskusi tentang inipost