AMPAR.ID – Krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik telah menjadi fenomena yang semakin umum di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh kinerja buruk partai politik yang menciptakan kondisi politik yang tidak beraturan. Kader partai politik yang terlibat dalam kasus korupsi telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Masyarakat tidak percaya bahwa partai politik dapat menjaga nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, partisipatif, kesetaraan, dan taat hukum.
Kepercayaan bagaikan fondasi kokoh dalam penopang demokrasi. Fondasi ini, dalam konteks Indonesia, diwakili oleh kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Namun, alih-alih kokoh, fondasi ini kian menunjukkan retakan. Krisis kepercayaan terhadap partai politik menjadi kenyataan pahit yang dihadapi bangsa ini.
Survei demi survei menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam surveinya pada November 2021 menemukan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sebesar 28,3%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan terhadap institusi lain seperti TNI (76,2%), Polri (62,2%), dan KPK (55,1%).
Kondisi ini bagaikan bom waktu yang siap meledak. Krisis kepercayaan ini bukan hanya meruntuhkan pilar demokrasi, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa. Mengapa krisis ini terjadi? Jawabannya kompleks dan multidimensi.
Di satu sisi, kinerja buruk partai politik menjadi biang keladi utama. Masyarakat kecewa dengan politisi yang lebih sibuk memperkaya diri dan golongannya daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Kinerja elite politik yang lemah moral dan etika, serta keterlibatan beberapa kader partai dalam kasus korupsi, telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Kasus korupsi yang menjerat kader partai, politik uang yang marak, dan janji-janji kampanye yang tak ditepati menjadi bukti nyata kemerosotan moral dan idealisme di tubuh partai politik.
Di sisi lain, kurangnya komunikasi dan edukasi politik memperparah keadaan. Partai politik gagal membangun hubungan yang harmonis dengan rakyat. Program dan visi misi mereka pun tak tersampaikan dengan baik, sehingga menimbulkan kebingungan dan apatisme di kalangan masyarakat.
Tak hanya itu, dominasi politik uang bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi. Suara rakyat dibeli, demokrasi diperkosa, dan keadilan ditelikung. Politik uang menumbuhkan pemimpin yang tak berkualitas dan tak peduli rakyat.
Krisis ini diperparah dengan kaderisasi yang bermasalah dan perpecahan internal partai. Regenerasi kepemimpinan yang buram dan perpecahan yang berkepanjangan tak ubahnya racun yang mematikan partai politik dari dalam.
Dampak krisis ini tak main-main. Apatisme politik, kemunculan politik identitas, memperkuat oligarki, dan menurunnya kualitas demokrasi adalah konsekuensi yang harus ditanggung bangsa ini.
Membangun kembali kepercayaan rakyat adalah tugas bersama. Partai politik harus berbenah diri, pemerintah perlu menegakkan aturan, masyarakat sipil harus aktif mencerdaskan rakyat, dan media massa wajib menyajikan informasi yang objektif. Kerja sama dan komitmen dari semua pihak menjadi kunci utama. Tanpa itu, fondasi demokrasi akan semakin rapuh dan masa depan bangsa terancam.
(Penulis: Adelia Safitri Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UIN STS Jambi)
Diskusi tentang inipost