AMPAR.ID, Jakarta – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir dan Pemberhentian Dari Jabatan Ketua kepada Arief Budiman selaku Ketua KPU RI dalam perkara 123-PKE-DKPP/X/2020.
Sanksi dibacakan oleh Ketua dan Anggota Majelis DKPP dalam sidang pembacaan putusan sebanyak 17 perkara di Ruang Sidang DKPP, pada Rabu (13/1/2020) pukul 09.30 WIB. Arief Budiman terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
“Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir dan Pemberhentian Dari Jabatan Ketua KPU RI kepada Teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU RI sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis, Prof. Muhammad.
Majelis DKPP mengungkapkan Arief Budiman diadukan ke DKPP karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Dalam persidangan, Arief Budiman berdalih kehadiran dirinya di PTUN Jakarta untuk memberikan dukungan moril, simpati, dan empati didasarkan pada rasa kemanusiaan. Kehadiran Teradu dalam kapasitasnya sebagai individu, bukan mewakili lembaga. Di saat yang bersamaan, Teradu berstatus work from home (WFH).
Anggota Majelis, Didik Supriyanto, S.IP., MIP saat membacakan pertimbangan menjelaskan bahwa DKPP sangat memahami ikatan emosional Teradu dengan Evi Novida Ginting Manik yang merintis karir sebagai penyelenggara pemilu dari bawah hingga menjadi komisioner di KPU RI untuk periode 2017-2022.
Namun, ikatan emosional sepatutnya tidak menutup atau mematikan sense of ethic dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi. Hal itu karena dalam diri Teradu merangkap jabatan Ketua merangkap Anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapapun kecuali dalam ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu.
“Seharusnya Teradu dapat menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang public dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional yang menyeret lembaga dan berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ujar Didik.
Selain itu, kehadiran Teradu di ruang publik mendampingi Evi Novida Ginting Manik dalam memperjuangkan hak-haknya membuat KPU RI terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.
Sikap dan tindakan Teradu menunjukan tidak adanya penghormatan terhadap tugas dan wewenang antar institusi penyelenggara pemilu. Didik menambahkan Teradu menunjukkan tindakan penyalahgunaan wewenang secara tidak langsung karena jabatan senantiasa melekat pada setiap perbuatan Teradu di ruang publik.
“Teradu melanggar Pasal 14 huruf c jo Pasal 15 huruf a dan d jo Pasal 19 huruf c dan e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” tegas Didik.
Teradu juga tanpa dasar hukum meminta Evi Novida Ginting Manik kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai Anggota KPU RI melalui Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat yang dikeluarkan Teradu mengacu pada Surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor B.210.
Kementerian Sekretariat Negara RI meminta Teradu menyampaikan petikan Keputusan Presiden (No 83/P Tahun 2020) yang mencabut putusan sebelumnya (No 34/P Tahun 2020) untuk disampaikan kepada Evi Novida Ginting Manik. Dalam surat tersebut tidak ada frase atau ketentuan yang memerintahkan Teradu mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU RI.
“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” sambung Didik.
Anggota DKPP, Dr. Ida Budhiati menambahkan Teradu sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai Anggota KPU RI menurut hukum dan etika Evi Novida Ginting tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
Bahwa pengaktifan kembali menurut Teradu dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Tetapi pernyataan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang cukup berupa dokumen Berita Acara Rapat Pleno atau alat bukti lainnya, sehingga keputusan tersebut menurut DKPP merupakan tindakan sepihak Teradu tanpa melibatkan atau sepengetahuan anggota lainnya.
“Berdasarkan hal tersebut Teradu telah terbukti melanggar Pasal 11 huruf a dan huruf b juncto Pasal 15 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf f juncto Pasal 19 huruf c, huruf e dan huruf d, Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” ujar Ida.
Dalam perkara ini Anggota Majelis DKPP memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Pranomo Ubaid Tanthowi. Ditegaskannya, bahwa Teradu membubuhkan tanda tangan dalam surat 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU RI bukan atas nama pribadi.
Pramono juga menilai tindakan Teradu Arif Budiman membubuhkan tanda tangan pada surat 663 tidak termasuk pelanggaran berat yang menciderai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu atau pilkada Teradu tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses atau hasil pemilu atau pilkada.
Sidang ini dipimpin oleh Ketua DKPP yang bertindak sebagai Ketua Majelis, Prof. Muhammad yang didampingi Anggota DKPP sebagai Anggota Majelis, yaitu Dr. Alfitra Salamm, Prof. Teguh Prasetyo, Didik Supriyanto, S.IP., M.IP., Dr. Ida Budhiati, dan Pramono Ubaid Tanthowi. (*/Datut Rakash)
Diskusi tentang inipost