AMPAR.ID, JAKARTA – Setahun berlalu, UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK disahkan, berbagai kalangan menillai pemerantasan korupsi sudah tinggal kenangan ketika undang-undang tersebut disahkan. Di tambah berbagai upaya pelemahan lainnya yang dilakukan kepada KPK secara sistematis membuat KPK banyak ditinggal oleh pegawai-pegawainya yang hebat. Selain itu, berbagai pelanggaran kode etik dan penggemukan internal tubuh KPK, membuat KPK kehilangan legitimasi sebagai lembaga pemberantasan korupsi, belum lagi banyak kasus TIPIKOR yang hingga kini belum menemui titik terang.
Bertetapan dengan peringatan Hari Anti Korupsu Sedunia, BEM UI bersama Brigade UI dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan diskusi ‘NGOBRAK : Evaluasi 1 Tahun Pemberantasan Korupsi, Benarkah Sudah Kiamat?’ yang disiarkan secara langsung pada hari Senin, 7 Desember 2020 di akun Youtube BEM UI.
Diskusi tersebut dihadiri beberapa tokoh dari berbagai kalangan. Novel Baswedan (Penyidik Senior KPK), Laode M Syarif (Mantan Wakil Ketua KPK), Lalola Easter Kaban (Peneliti ICW), Manik Marganamahendra (Mantan Ketua BEM UI) dan Zainal Arifin Mochtar (Guru Besar Hukum Tata Negara FH UGM).
Para pembicara memaparkan evaluasi mereka terkait satu tahun pemberantasan korupsi di Indonesia. Mulai dari dampak disahkannya UU No.19 Tahun 2019 terhadap menurunnya peforma kinerja KPK setahun kebelakang. Kemudian, berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan upaya pembusukan KPK dengan penggemukan tubuh internal KPK membuat tingkat kepercayaan public menurun drastis di bawah kepemimpinan Firl Bahuri.
Pada diskusi tersebut, Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan, mengatakan bahwa upaya pelemahan KPK masih benar-benar nyata hingga saat ini. Beliau menolak pernyataan pihak-pihak yang menetralisir jika kondisi KPK baik-baik. Jika belakangan ini KPK menindak berbagai tindak pidana korupsi itu berkat kegigihan, semangat, serta dedikasi para pegawai KPK yang masih bertahan hingga saat ini.
“Upaya pelemahan KPK benar-benar ada. Jadi kalau ada yang justru seolah-seolah menetralisir menyampaikan seolah-olah KPK tak ada apa-apa, saya termasuk orang yang tidak setuju di sana. Tapi ketika ditanya, kenapa kok bisa tangkap menteri dan lain-lain? Itu tidak lepas dari bagaimana kegigihan dari pegawai KPK, dedikasi, semangat, dan banyak hal lain lagi, “ kata Novel dalam diskusi yang ditayangkan akun Youtube BEM UI, Senin (7/12/2020).
Peneliti ICW, Lalola Eastee Kaban, turut menuturkan bahwa KPK mengalami pembusukan dari dalam melalui penerbitan Peraturan Komisioner KPK no 7 tahun 2020. Peraturan tersebut membuat tubuh internal KPK saat ini ‘menggemuk’ berdampak terhadap deligitimasi KPK sebagai lembaga pemberantasan Korupsi.
“KPK mengalami pembusukan dari dalam melalui penerbitan Peraturan Komisioner
KPK no 7 tahun 2020. Peraturan tersebut berdampak pada delegetimasi KPK sebagai stimulan dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujar Lola, pada diskusi yang ditayangkan di Youtube BEM UI, Senin (7/12/2020)
Beliau menambahkan, berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli Bahuri pada awal kepengurusannya membuat tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun, bahkan di bawah peringkat institusi POLRI yang memiliki banyak catatan merah. Walaupun persepsi publik terhadap KPK mengalami sedikit perbaikann setelah baru-baru ini KPK berhasil melakukan beberapa penangkapan terhadap sejumlah menteri yang terlibat dugaan kasus korupsi, tetapi berdasarkan hasil survei yang dihimpun, KPK tetap mengalami penurunan tingkat ketidakpercayaan publik yang tinggi,
“Pada awal masa kepemimpinan Firli Bahuri, KPK sempat mengalami pemerosotan kepercayaan publik hingga berada dibawah tingkat kepercayaan publik terhadap Polri. Namun, persepsi publik terhadap KPK mengalami sedikit perbaikan setelah baru-baru ini KPK berhasil melakukan beberapa penangkapan terhadap sejumlah menteri yang terlibat dugaan kasus korupsi. Meskipun demikian, berdasarkan hasil survei yang dihimpun, KPK tetap mengalami penurunan ketidakpercayaan publik yang tinggi” pungkas Lola, Senin (7/12/2020)
Mantan Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, disisi lain mengatakan tantangan KPK saat ini sangat berbeda dengan KPK yang dahulu ia pimpin karena peraturan undang-undang yang memayungi KPK saat ini sudah berubah. Namun, beliau berharap penindakan tindak pidana korupsi harus tetap KPK jalankan agar mendapatkan kepercayaan dari masyarakat umum yang tidak lain adalah sahabat utama KPK
“Tantangan KPK periode sekarang dan periode terdahulu berbeda dikarenakan adanya
perubahan terhadap UU KPK yang berdampak terhadap struktur dan mekanisme KPK
sekarang. Penindakan KPK harus terus berjalan supaya pencegahan korupsi dapat diperhatikan dan mendapat legetimasi dari masyarakat karena sahabat utama KPK adalah masyarakat umum,” kata Laode pada diskusi yang ditayangkan di Youtube BEM UI, Senin (7/12/2020)
Manik Marganamahendra, Ketua BEM UI 2019, pada diskusi tersebut menyampaikan refleksi setahun Gerakan Reformaasi Dikorupsi, khususnya dalam pengawalan revisi UU KPK. Ia mengatakan proses revisi UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK sangat tidak akuntabel dan tidak menyerap partisipati publik. Ketika aliansi masyarakat sipil mengawal isu tersebut dengan memberikan kajian terkait masalah dibalik revisi UU KPK tidak digubris sama sekali oleh DPR. Begitu juga dengan serangkaian aksi Reformasi Dikorupsi yang dilakukan masyarakat sipil dari berbagai kalangan dalam menolak revisi UU KPK. Namun, aksi protes tersebut malah mendapatkan respon yang represif dari aparat yang menyebabkan lima mahasiswa menjadi korban jiwa akibat tindakan represivitas aparat, hingga akhirnya pada 19 Desember 2020 UU. No. 19 Tahun 2019 disahkan.
Manik menambahkan, permasalahan pelemahan KPK tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat umum, khususnya anak muda. Hal itu karena kebijakan publik sangat berdampak terhadap masa depan anak muda. Namun, ketika mereka ingin menyuarakan nasib masa depan mereka, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi dengan menguatkan KPK, mereka malah mendapatkan ancaman, dikucilkan, dan dianggap tidak paham hokum, dan sebagainya.
“Kebijakan yang bermasalah ini wajar jika mendapat tanggapan dari masyarakat,
khususnya anak muda. Karena sejatinya, kebijakan publik yang dibuat saat ini pasti
akan berdampak pada masa depan anak-anak muda. Namun, ketika mereka ingin
berbicara untuk membela masa depannya supaya terhindar dari masalah korupsi dengan
menjaga sistem pemberantasan korupsi, salah satunya menguatkan KPK. Mereka malah
mendapatkan ancaman, dikucilkan, dan dianggap tidak paham hukum, dan sebagainya,” pungkas Manik, Senin (7/12/2020)
Guru Besar Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat KPK gagal membangun standar integritasnya sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Beliau juga menilai KPK tidak memiliki roadmap yang nyata dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya dalam penegakan hukum.
“Kelembagaan pemberantasan korupsi tentu tidak terlepas oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah bagaimana lembaga tersebut dalam membangun standar integritas yang tinggi. KPK belakangan ini gagal dalam membangun standar ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai catatan yang dilakukan oleh komisioner KPK dan problematik lain. Selama ini, tidak terlihat peta jalan yang nyata dari KPK. Peta jalan yang terbaik adalah membersihkan penegakan hukum. Tanpa penegakan hokum yang bersih, penindakan tindak pidana korupsi tidak ada artinya,”ujar Uceng, sapaan akrab beliau, Senin (7/12/2020).
Beliau menambahkan, akan terjadi sebuah bom waktu yang sebentar lagi akan meledak akibat dari transisi status pegawai KPK yang dahulu independen, kini berubah menjasi ASN. Hal tersebut dikhawatirkan akan berdampak kedepannya, semangat pemberantasan korupsi hanya menjadi kenangan saja karena saat ini KPK hanya bermodal sisa-sisa nafas pegawai lamanya. Hal itu dapat dilihat dari menurunnya jumlah penindakan kasus tindak pidana korupsi yang dikakukan oleh KPK
“Ada bom waktu yang segera meledak, yakni transisi antara kepegawaian KPK dengan model biasa dan model KPK dengan model ASN. Sisa napas KPK selama ini merupakan hasil dari transisi tersebut sehingga dikhawatirkan, pemberantasan korupsi akan kembali menjadi cerita lama. Ini dapat dilihat dengan semakin sedikitnya kasus OTT. Hal ini dapat membantah argumen bahwa KPK selama ini tidak dilumpuhkan,” pungkas Zainal Mochtar, Senin (7/12/2020)
Para pembicara sepakat bahwa tanggung jawab pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, jangan sampai semangat itu hanya menjadi cerita lama saja karena berbagai pelemahan yang dilakukan kepada KPK. Berbagai elemen masyarakat harus menyatukan langkah dan berkonsilidasi untuk memberikan alternatif perjuangan ketika suara kita tidak didengar oleh para penguasa lagi yang melenggangkan impunitas.
Zainal Mochtar yang juga aktif sebagai peniliti dan mantan direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (PUKAT UGM, turut menambahkan resep untuk langkah yang dapat kita lakukan kedepanya dalam memberantas korupsi. Pertama, kita harus memiliki integritas dalam proses pemberantasan korupsi karena tidak mungkin kita bisa bebas dari praktik korupsi kalau kita sendiri adalah pengkhianatnya.
Kedua, perihal kolektivitas, untuk memberantas praktik korupsi bukan merupakan upaya sendirian tetapi upaya kita bersama. Semua sektor masyarakat memiliki tempatnya masing-masing dalam memberantas korupsi sehingga kolektivitas diperlukan untuk membuat perubahan besar secara gradual.
Ketiga, perihal vitalitas dalam artian kemampuan kita dalam memberantas korupsi. Tanda-tanda vital hidupnya pemberantasan korupsi itu penting. Walaupun tanda tersebut mati, paling tidak pemberantasan korupsi tidak mati di mata masyarakat. Keempat, kreativitas diperlukan dalam memiliki imaji dalam pemberantasan korupsi dan tidak hanya mengharapkan rumusan-rumusan standar terkait hukuman yang menjerakan.
Terakhir, perihal durabilitas, upaya pemberantasan korupsi merupakan permasalahan panjang. Lima hal tersebut merupakan konsepsi memberantas korupsi sebagai catatan untuk kita melakukan perubahan dalam hal pemberantasan korupsi.
Oleh : Affan Syafiq/Mahasiswa Universitas Indonesia
Sumber: Suara.com
Diskusi tentang inipost