AMPAR.ID, Jakarta – Sampai saat ini Bank Mega belum mau mengembalikan dana milik para nasabah yang hilang. Para nasabah yang didampingi oleh Kuasa Hukum Munnie Yasmin dan Mila Tayeb Sedana, telah melaporkan Bank Mega pada Subdit IV MUSP Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri. Namun anehnya, pihak Bank Mega melaporkan juga para nasabah di Direktorat yang sama yakni Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksu) Subdit I pada tanggal 15 Juni 2021.
Penyelesaian hilangnya dana deposito nasabah PT Bank Mega Tbk cabang Denpasar, jalan ditempat. Sudah kehilangan dananya, nasabah justru menjadi terlapor penggelapan dana di Bank Mega.
Munnie Yasmin dan Mila Tayeb Sedana, selaku kuasa hukum dari 9 orang nasabah dengan kerugian Rp 33,45 miliar, mendesak pimpinan dan pemilik Bank Mega bertanggung jawab dengan mengembalikan seluruh dana yang hilang. Apalagi, kasus pembobolan ini melibatkan langsung Kepala Cabang Bank Mega Gatot Subroto Bali.
Tim kuasa hukum nasabah juga meminta Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendesak Bank Mega mengembalikan dana nasabah, guna mencegah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Munnie Yasmin menjelaskan, nasabah mendapat perlindungan hukum dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
(Zaenal Arifin)
Pada Pasal 7 huruf g UU No.8/1999 menyatakan, “Bank wajib memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
Adapun Pasal 37 B ayat (1) UU Perbankan menyebutkan, setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank, telah dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdarkan UU LPS No. 24 Tahun 2004.
Terungkapnya skandal pembobolan dana nasabah di Bank Mega, bermula ketika pada November 2020 salah seorang nasabah hendak mencairkan dana deposito miliknya. Namun dari keterangan pihak Bank Mega kala itu, dana nasabah tersebut sudah tidak ada dan tidak tercatat pada sistem. Padahal, nasabah tidak pernah melakukan pencairan dana.
Bukti kepemilikan deposito dan formulir keikutsertaan program penempatan dana yang lengkap dengan logo dan tanda tangan pejabat Bank Mega, masih disimpan nasabah. Setelah mengetahui dananya hilang, atas permintaan pihak Bank Mega, nasabah kemudian mengisi form pengaduan.
“Sikap Bank Mega yang melaporkan para nasabah ini dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan,” ujar Munnie dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Modus operandi
Modus operandi pembobolan dana deposito nasabah, didahului oleh pembukaan rekening fiktif menggunakan nama nasabah. Rekening fiktif tersebut diduga dibuat oleh pejabat Bank Mega sendiri tanpa sepengetahuan dan persetujuan nasabah.
Pada saat meminta data mutasi rekening nasabah baru mengetahui jika ada rekening fiktif yang dibuat tanpa sepengetahuan nasabah dan para nasabah terkejut dengan banyaknya transaksi yang terjadi di dalam rekening fiktif tersebut . Bahkan salah seorang nasabah yang telah menempatkan dana deposito sejak tahun 2012, dananya amblas hanya dalam tempo 1 hari setelah dia menempatkan dana di Bank Mega.
Anehnya beberapa nasabah malah diperiksa oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri pada 16 Desember 2020, atas laporan Bank Mega. Pada awal pemeriksaan, para nasabah dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai transaksi penarikan yang tidak dilakukan oleh nasabah.
Mengingat itikad baik dari pihak Bank Mega tidak juga kunjung diperlihatkan, tim kuasa hukum melaporkan pihak Bank Mega ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri dan ditangani oleh Subdit IV MUSP.
Pada perjalanannya, laporan Bank Mega Dittipidsiber mempersulit nasabah untuk meminta data dari pihak Bank Mega. Padahal, data-data itu dibutuhkan nasabah untuk melengkapi bahan laporan ke Dittipideksus Bareskrim Polri.
Fakta-fakta yang ada menyebutkan, ada yang salah dengan sistem pada Bank Mega. Hal ini terlihat dari mudahnya pejabat Bank Mega mencairkan dana nasabah tanpa ada pengawasan. Seperti contohnya, salah satu nasabah yang menempatkan dana deposito pada 14 Mei 2012 dan 15 Mei 2012, dan tersebut lantas dicairkan tanpa sepengetahuan nasabah.
Menurut tim kuasa hukum, merujuk Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU No.10/1998 menyatakan bahwa anggota dewan komisaris, direksi dan pegawai bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan termasuk melakukan pencatatan yang baik agar nasabah tidak dirugikan dan jika ini dilanggar terdapat ancaman pidana.
Demikian pula Pasal 29 POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menegaskan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai pelaku usaha jasa keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa keuangan.
Hingga saat ini Bank Mega masih berkelit terus. Namun faktanya terdapat tiga orang yang diantaranya adalah pejabat Bank Mega telah di tetapkan sebagai tersangka dan perkaranya telah dilimpahkan ke Kejari Denpasar oleh Dittipidsiber.
Terdapat kecenderungan pihak Bank Mega hendak lepas tanggung jawab. Ironisnya, Bank Mega malah menyalahkan nasabah, padahal seluruh dana transaksi tersebut masuk ke sistem Bank Mega (rekening fiktif) yang dibuat Pejabat Bank Mega tanpa izin nasabah.
Sembilan nasabah hingga kini tidak pernah mendapat kejelasan atas hilangnya dana deposito milik mereka yang taksiran kerugiannya mencapai Rp 33,45 miliar.
“Sebenarnya yang diharapkan oleh klien kami hanya meminta pihak Bank Mega untuk segera mengembalikan dana yang hilang akibat lemahnya sistem dan pengawasan dari Bank Mega. Apalagi, tindak pidana ini dilakukan oleh pejabat Bank Mega,” pungkas Mila Tayeb.
Sumber: aktual.com
Diskusi tentang inipost