Sepertinya persoalan komplik kepemilan tanah ataupun yang lebih dikenal dengan sebutan komplik lahan menjadi Pekerjaan Rumah yang berkepanjangan bagi Pemerintah dan sepertinya tidak dapat diprediksi atau diperkirakan kapan akan berakhir.
Komplik yang hadir dan lahir dengan berbagai semerbak aromah dan bentuk ronah dari warna kentingan mampu menempatkan hukum dengan segala macam bentuk instrument hukum dan masyarakat berada pada posisi yang sama yaitu sama-sama sebagai korban dari kebijakan.
Berbagai fenomena warna permasalahan yang terjadi antara berbagai golongan pihak pemilik kepentingan, baik yang mengatasnamakan diri sebagai masyarakat berlabelkan pemegang hak waris, maupun yang menyandang status sosial sebagai investor.
Persoalan yang mempertontonkan pertunjukan pragement pestival kebijakan dan kepentingan yang dapat ditarik kesimpulan dimana ada kebijakan di situ ada kepentingan atau dengan kata lain kepentingan dan kebijakan selalu beriringan untuk sebuah keinginan, dengan berdalihkan sesuatu kebutuhan.
Kebutuhan yang dibungkus rapih dalam sedemikian rupa kemasan indah dengan bertemakan semboyan demi pembangunan kesejahteraan. Aneka warna kemasan yang menjadi panorama bagi fenomena warna kemanfaatan hukum dan kemanfaatan tanah itu sendiri.
Kedua indikator gejolak alam pemikiran dan cara berpikir yang memaksa para pemangku dan pemegang hak membuat kebijakan negara terpaksa mendirikan atau membentuk Satuan Tugas Mafia Pertanahan.
Sejauh ini peranan dari lembaga besutan pemerintah tersebut masih terkesan seperti sedang mencari jarum ditumpukan jerami. Sepertinya mereka begitu sulitnya dalam melakukan upaya pembuktian terhadap persoalan pertanahan yang baik secara secara de jure maupun de fakto terletak pada persoalan sengketa lahan.
Pada umumnya atau sebagian besar persoalan tersebut berawal dari adanya indikasi perbuatan pemerkosaan terhadap azaz dan norma atau kaidah hukum perizinan, terutama pada persoalan pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tumpang tindih dan tanpa kepastian hukum sampai dengan adanya indikasi pasar gelap atau praktek jual beli blanko Buku Sertifikat Hak Milik (Kosong).
Semacam praktek melegalisir perampasan hak-hak orang lain yang benar-benar merupakan PR berat bagi Satuan Tugas dimaksud untuk menggunakan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) guna mengurai benang kusut dan carut marut birokrasi perizinan serta azaz dan kaidah ataupun norma hukum pertanahan, yang sepertinya justru harus ditelusuri dari internal jajaran Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional itu sendiri.
Serta yang tidak kalah pentingnya melakukan Audit Investigasi terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) menyangkut pertanahan dari pemberian HGU maupun SHM, agar Satgas Mafia Pertanahan dapat dijadikan garda pelaksanaan ketentuan Pasal 33 UUD’45.
Diskusi tentang inipost