AMPAR.ID – Warga Korea Utara (Korut) dilaporkan beramai-ramai bercerai di tengah tekanan ekonomi yang semakin membebani. Namun karena pemerintah Korut menganggap perceraian sebagai ‘anti-sosialis’ maka banyak pasangan yang terpaksa menunggu bertahun-tahun demi perceraian mereka diresmikan negara.
Seperti dilansir Radio Free Asia (RFA), Senin (1/8/2022), sejumlah sumber menuturkan bahwa jumlah pasangan suami-istri di Korut yang mengajukan perceraian mengalami peningkatan beberapa waktu terakhir.
“Beberapa waktu terakhir, perselisihan keluarga semakin memburuk karena alasan ekonomi dan jumlah keluarga yang ingin bercerai meningkat, tapi otoritas setempat memerintahkan pengadilan untuk tidak dengan mudah menyetujui perceraian,” tutur seorang warga distrik Kyongsong di Provinsi Hamgyong Utara, yang tidak bisa disebut namanya karena alasan keamanan, kepada RFA.
BACA JUGA: HUT RI ke-77, Al Haris Gelorakan Aksi 1 Juta Bendera Merah Putih
“Ketika saya sesekali melintas di depan gedung pengadilan, saya selalu melihat belasan pria dan wanita muda berkumpul di depan gerbang utama. Ini kebanyakan pasangan yang ingin menemui hakim atau pengacara untuk mengajukan gugatan cerai,” imbuhnya.
Menurut sumber warga lokal itu, pengadilan biasanya tidak mengabulkan perceraian, kecuali ada ‘alasan yang tidak bisa dihindari’. Orang-orang yang sudah tidak hidup serumah dengan pasangan mereka bertahun-tahun lalu, diketahui masih menunggu perceraian mereka diresmikan negara.
“Perceraian secara tradisional diakui sebagai tindakan anti-sosialis yang memicu kerusuhan sosial. Di sini, di Korea Utara, mereka bersikeras menjalani ‘gaya hidup sosialis’ yang mencakup ‘revolusi rumah tangga’,” ucap warga lokal itu.
BACA JUGA: DPR RI Minta Komnas HAM Bekerja Sesuai Ketentuan Tangani Kasus Wafat Brigadir J
“Pekan lalu, saya mempelajari sesuatu yang mengejutkan dari seorang kenalan saya. Suaminya seorang pejabat berpengaruh di salah satu pengadilan. Dia mengatakan jumlah kasus perceraian yang bisa ditangani setiap pengadilan kota dan distrik setiap tahunnya dibatasi berdasarkan ukuran populasi,” ungkapnya.
Distrik Kyongsong, sebagai contohnya, yang memiliki penduduk 106.000 jiwa, sebut warga lokal itu, hanya bisa mengabulkan 40 perceraian tahun ini.
“Jika pengadilan melebihi kuota sidang perceraian, pengadilan akan ditanyai oleh pemerintah. Saya tahu pengadilan enggan menyetujui perceraian, tapi mengejutkan untuk mendengar bahwa pemerintah bahkan menetapkan jumlah sidang perceraian,” ujarnya.
BACA JUGA: Viral! Andre Taulany dan Nunung Bahas soal Sule, Ini Klarifikasinya
Uang Suap Mempercepat Peresmian Perceraian di Korut
Pandemi virus Corona (COVID-19) telah menghancurkan perekonomian Korut, sebagian karena memicu penutupan perbatasan dan penangguhan seluruh perdagangan dengan China. Sebagian besar perdagangan Korut bergantung pada impor China, dan usai perbatasan ditutup, warga berjuang mencari nafkah baru.
Situasi itu semakin menambah tekanan yang memicu peningkatan perselisihan dalam keluarga, khususnya kehidupan rumah tangga pasangan suami-istri.
“Dalam beberapa tahun terakhir, pertengkaran keluarga semakin meningkat karena kesulitan hidup, jadi jumlah keluarga yang mengajukan perceraian juga meningkat. Dulu ada kecenderungan malu untuk bercerai, tapi sekarang tidak lagi,” sebut seorang warga distrik Unhung, Provinsi Ryanggang, kepada RFA.
“Orang-orang yang ingin bercerai, berusaha untuk mendapatkannya sesegera mungkin, tapi itu tidak mudah. Jumlah suap yang dibayarkan ke hakim pengadilan atau pengacara menentukan apakah perceraian bisa dikabulkan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan,” tutur warga lokal yang tidak bisa disebut namanya karena alasan keamanan.
Suap menjadi fakta kehidupan di Korut. Orang-orang yang tidak bisa membayar suap terpaksa menunggu lebih lama bagi perceraian mereka diresmikan negara.
“Mengingat ada banyak pemohon perceraian, tidak mungkin untuk melewati tahap pertama pengajuan dokumen tanpa membayar suap ke pengadilan. Kenyataannya adalah jika Anda tidak membayar suap, Anda tidak akan bercerai setelah menunggu tiga hingga lima tahun,” sebut warga lokal itu.
Situasi berbeda jika ada uang suap yang dibayarkan, di mana proses perceraian akan berlangsung sangat cepat.
“Teman saya, yang bercerai tahun ini, memberikan pengacara 500 Yuan (Rp 1,1 juta) untuk mengajukan dokumennya, dan kemudian menyuap hakim yang bertanggung atas persidangan dengan 1.500 Yuan (Rp 3,3 juta). Proses persidangan disederhanakan, dan persidangan berlangsung dalam sekejap. Dia bercerai dalam dua pekan,” ucap sumber lainnya di Korut yang dikutip RFA.
“Kenyataan di Korea Utara adalah Anda tidak bisa bercerai tanpa uang. Perceraian begitu sulit, itu telah menjadi hal biasa untuk orang-orang muda untuk tidak mendaftarkan pernikahan mereka bahkan setelah mereka menikah,” imbuhnya.
Pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya tidak perlu melewati proses perceraian yang memakan waktu lama. Mereka bisa langsung berpisah tanpa adanya peresmian dari negara.
“Mereka mendaftarkan pernikahan mereka hanya setelah mereka memiliki anak atau setelah mereka tinggal bersama selama beberapa tahun,” sebut sumber itu.
Sumber: detik.com
Diskusi tentang inipost