Oleh: Dr. Noviardi Ferzi, SE.MM
Kehadiran penggaung atau istilah kerennya Buzzer tidak terlepas dari platform politik yang identik dengan kegiatan mobilisasi dalam dunia virtual (online). Mereka menarik perhatian masyarakat dengan menarasikan disinformasi secara destruktif yang berpotensi menjadi ancaman tersendiri bagi terciptanya disintegrasi bangsa.
Buzzer sendiri dapat didefinisikan sebagai akun yang memiliki kemampuan menyampaikan pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu. Dari segi bahasa, kata “buzzer” kerap diidentikan dengan bunyi dengung. Karenanya buzzer dikenal juga dengan sebutan penggaung. Ia merupakan pelaku yang terus membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.
Namun akhir – akhir ini kehadirannya mulai terasa mengganggu karena ada ketidakadilan yang berlaku. Misalnya informasi yang disampaikan tidak valid, dan merugikan pihak lain, menyesatkan publik dan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar, slogan termasuk provokasi yang menyakitkan di media sosial.
Selama ini media sosial dipandang sukses memberikan ruang keterlibatan masyarakat dalam berbagai peristiwa, yang terjadi kemudian justru dimanfaatkan segelintir orang demi tujuan dan maksud tertentu.
Padahal dalam demokrasi, media sosial sebagai wahana netral, pengawal jalannya reformasi serta public interest lainnya, dan bisa pula mewakili atau berada di atas semua kelompok masyarakat, tanpa kehendak untuk menguasai satu di antara lainnya.
Walhasil Media sosial yang pernah disanjung sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi kini dikritisi karena perannya yang memfasilitasi disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan institusi demokrasi dan menguntungkan penguasa.
Di sisi lain masyarakat yang dalam keadaan minim literasi media dan informasi diposisikan hanya sebatas konsumen dari berbagai informasi yang bersifat propaganda. Inilah kemudian mereduksi kekuatan demokrasi yang selalu mengandaikan kebebasan media.
Namun meski menimbulkan dilema aktivitas buzzer tidak dapat dilarang, karena bertentangan dengan nilai demokrasi, mereka punya hak memiliki untuk bersuara, termasuk hak untuk memperoleh pendapatan ?
Memang pada prakteknya ada buzzer yang bergerak secara sukarela, namun juga ada yang menjadikan itu sebagai sebuah pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi uang. Motif itulah yang kemudian mengalami pembiasan makna ke arah negatif seperti yang dirasakan saat ini.
Penelitian Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019), ” The Global Disinformation Order, Global Inventory of Organised Social Media Manipulation ” tahun 2019, menyatakan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Menjadi kekhawatiran tersendiri ketika buzzer politik memang sengaja dijadikan infrastruktur dalam sistem politik yang ada. Bukan suatu hal yang mustahil jika keberadaan buzzer politik justru dilestarikan karena menguntungkan pihak penguasa. Peran media massa sebagai penyaji dan pelopor sikap kritis justru meredup karena munculnya buzzer politik.
Pendengung atau buzzer pendukung pemerintah bisa menghalangi proses demokrasi, dan ini tak selesai karena buzzer menghalau kritik yang disuarakan masyarakat.
Kesimpulannya perlu langkah untuk meredakan gerak buzzer yang dinilai kerap destruktif dan menggunakan bahasa yang nyaman dan tak menyakiti pihak lain. Berbagai regulasi harus tercipta agar sejumlah buzzer yang dikhawatirkan dapat menyebabkan disintegrasi, dan ini perlu ditindak, perlu ditertibkan.
Karena publik menginginkan pentingnya etika dalam menghadapi kemajuan komunikasi dan teknologi. Etika hadir sebagai pedoman dasar dalam kemajuan komunikasi dan teknologi untuk dapat membedakan baik buruknya suatu informasi yang didapatkan. Jujur pada saat ini kita membutuhkan media sosial yang ramah. (*/)
Diskusi tentang inipost