Diperkirakan Polemik angkutan Batubara di Provinsi Jambi sampai kapanpun tidak akan pernah selesai, selama Pemerintah tidak mampu berlaku jujur atas gagalnya pelaksanaan dan kelirunya penetapan sejumlah kebijakan.
Bisa jadi penetapan kebijakan untuk solusi polemik dimaksud, Gubernur tidak didukung dengan kemampuan ataupun profesionalitas kabinet yang berkompeten dibidangnya seperti jajaran Biro Ekonomi Sumber Daya Alam dan Dinas Perhubungan. Suatu petunjuk yang menunjukan adanya kekeliruan dalam pembentukan kabinet kerja Pemerintahan Al Haris – Abdullah Sani.
Seharusnya Pemerintah tidak perlu bersikap yang menimbulkan kesan seakan-akan menjadikan Batubara sebagai Industri produktif pencipta masalah ataupun menjadikannya gudang masalah, semuanya tidak akan pernah terjadi jika adanya sikap jujur dari Pemerintah pada setiap kebijakan yang ditetapkan apalagi menyangkut kebijakan tentang tujuan negara dan pengelolaan kekayaan ataupun Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.
Diperkirakan angkutan batubara tidak akan menjadi persoalan seandainya kebijakan pembangunan jalan khusus (2012) beserta pembangunan Pelabuhan Samudera (Ujung Jabung) dapat terlaksana sebagaimana mestinya dengan tanpa adanya intervensi kepentingan politik kekuasaan, atau dengan kata lain tidak menjadikan kepentingan politik menindas kepentingan pencapaian tujuan negara.
Kebijakan yang tidak menjadikan mubazir uang rakyat dengan nilai luar biasa fantastis (Triliunan Rupiah), dengan begitu tentunya Pemerintah Provinsi Jambi tidak perlu menjadikan Batubara sebagai mesin industri polemik kepentingan politik kekuasaan.
Persoalan demi persoalan silih berganti lahir dan tercipta, memberikan suatu gambaran gagalnya Pemerintah melaksanakan penjabaran defenisi daripada kaidah dan/atau norma Hukum Perizinan, kegagalan demi kegagalan yang memaksa lahirnya Rumah Aspirasi guna menampung aspirasi masyarakat dan Persatuan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB), demi tegaknya norma ataupun kaidah hukum Perizinan di negara yang menganut paham Negara Hukum.
Tak dapat dipungkiri bahwa kedua lembaga tersebut adalah merupakan bukti nyata dari kegagalan cara berpikir pemerintah dalam memahami dan menghayati Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) serta bukti ketidak mampuan melaksanakan fungsi pemerintah sebagaimana norma dan/atau kaidah hukum perizinan.
Baik Rumah Aspirasi maupun PPTB bukan alat Pemerintah untuk melakukan upaya cuci tangan buang badan atau bukan merupakan sarana/prasarana untuk menutupi kegagalan melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemerintah, akan tetapi merupakan suatu pembuktian dari suatu kegagalan pemerintah beserta kebijakannya.
Tidak diketahui secara pasti akronim (singkatan) nama lembaga pengusaha tersebut sama persis dengan salah satu nama unit kerja yang ada di Kementerian Perhubungan yaitu Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan (PPTB), apakah hanya merupakan suatu kebetulan ataukah merupakan anugerah Tuhan yang diturunkan melalui pikiran pelaku usaha pertambangan supaya berdoa agar Pemerintah ingat rakyat hingga mampu untuk melaksanakan konsep pembangungan berkelanjutan (Sustuinable Deplovment).
Kedua lembaga tersebut (Rumah Aspirasi/PPTB) menunjukan adanya panggung pertunjukan anekdot politik kepentingan kekuasaan murahan dengan tampilan sosok pemerintah sebagai pelaku utama yang menodai dan/atau memperkosa norma dan/atau kaidah hukum perizinan, dimana adanya sikap Pemerintah tanpa alasan yang mendasar melarang dilaksanakan sesuatu kegiatan yang telah dihalalkan untuk dilaksanakan.
Sepertinya suatu sikap yang telah dengan sengaja dilaksanakan guna untuk menutupi kegagalan demi kegagalan penetapan kebijakan, dan lucunya lagi tidak nampak dengan jelas adanya upaya Pemerintah Provinsi Jambi meminta penjelasan dari pihak Kementerian Perhubungan sebagai Pengguna Anggaran waktu itu menyangkut penyebab gagalnya penyelesaian Pelabuhan Samudera Ujung Jabung beserta instrument pembangunan lainnya berupa jalan khusus dengan pembangunan menggunakan system recycling.
Pengalokasian anggaran yang bersumber dari APBN dan diikuti dengan APBD Provinsi Jambi (kedua-duanya pada tahun anggaran 2012) serta Hibah Tanah asset Pemerintah Provinsi Jambi seluas 120.000 M2 (Seratus Dua Puluh Ribu Meter Persegi/Dua Belas Hektar-2023), sama sekali tidak mampu memberikan manfaat apa-apa bagi kepentingan masyarakat ataupun tujuan negara.
Sepertinya deretan polemik demi polemik tersebut merupakan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan isyarat bahwa persoalan-persoalan dimaksud tidak akan pernah berakhir selama Pemerintah tidak pernah mempunyai keberanian untuk berlaku jujur baik pada masyarakat maupun pada negara terutama pada diri sendiri, dengan tanpa membungkus sederetan kegagalan demi kepentingan Politik Kekuasaan.
Kejujuran yang mampu melihat perbedaan ataupun jurang pemisah (gap) antara kepentingan publik dengan kepentingan politik kekuasaan, hingga tidak menjadikan kebijakan terjepit diantara dua kepentingan dimaksud serta tidak menjadikan hukum tanpa roh dan jiwa atau hanya sekedar pelengkap administrative keberadaan sebuah kekuasaan Pemerintahan.
Sekecil-kecilnya ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara Dalam Provinsi Jambi adalah bagian dari Hierarki Hukum yang memiliki sifat mengikat, mengatur dan memaksa.
Apalagi jika berbicara menyangkut tentang Undang-Undang Pertambangan, sepertinya norma dan kaidah hukum perizinan benar-benar telah dianggap sebagai mainan usang di tangan anak kecil, atau suatu keadaan yang menunjukan adanya suatu pertunjukan anekdot picisan dimana setelah menghalalkan sesuatu yang terlarang, pemerintah untuk menutupi kegagalan demi kegagalan telah dengan sengaja membuat kebijakan yang kembali melarang sesuatu yang telah dihalalkan.
Diskusi tentang inipost