Kisah perjumpaan antara waliyullah dan wabah ini kerap menjadi bahan renungan.
OLEH: MUHYIDDIN
AMPAR.ID – Pada zaman dahulu, hiduplah seorang wali. Ia memiliki kelebihan, antara lain, bisa melihat dan berbicara dengan sesuatu yang tak tampak mata manusia biasa. Orang saleh itu kemudian bertemu dengan rombongan wabah penyakit yang sedang menuju suatu tempat.
Sang wali pun bertanya kepada mereka, “Kalian wabah penyakit akan ke mana?”
“Kami sedang bergerak menuju Damaskus. Kami akan memberikan ujian dan cobaan kepada umat manusia di kota itu dengan cara menjangkiti mereka,” jawab wabah.
“Akan berapa lama kalian di sana?” tanya wali itu.
“Dua tahun.”
“Berapa banyak yang akan sakit dan meninggal?”
“Seribu orang,” jawab wabah sambil berlalu meninggalkannya.
Selang beberapa waktu kemudian, tersiarlah kabar. Penduduk Damaskus panik lantaran kedatangan wabah. Di antara mereka, ada yang terpapar dan jatuh sakit. Tak sedikit pula yang meninggal dunia.
Dua tahun kemudian, waliyullah itu kembali berjumpa dengan gerombolan wabah yang sama. Ia pun menanyakan tentang bagaimana sebaran penyakit yang mereka tularkan di Kota Damaskus.
Selain itu, ia juga hendak meminta penjelasan, berapa dari penduduk kota tersebut yang sakit dan wafat.
Para wabah pun menjawab, jumlah orang yang meninggal karena penyakit sebanyak 50 ribu orang.
Sang wali pun tercengang. Ia merasa heran karena jumlah korban jiwa ternyata jauh lebih banyak daripada keterangan awal yang mereka sampaikan sebelumnya, yakni seribu orang.
“Ya benar,” kata wabah, “Jumlah yang meninggal karena penyakit itu seribu orang. Namun, puluhan ribu orang lainnya itu wafat karena ketakutan melihat penyakit. Mereka takut berlebihan saat melihat orang sakit, orang mati, sehingga hati mereka jatuh pada kepanikan. Akhirnya, mereka pun meninggal dunia,” kata wabah menuturkan nasib 49 ribu orang yang gugur di Damaskus.
Kisah tentang wali dan wabah itu termaktub dalam kitab Hilyat al-Auliya wa Thabaqat al-Asfiya.
Kisah tentang wali dan wabah itu termaktub dalam kitab Hilyat al-Auliya wa Thabaqat al-Asfiya. Itu merupakan karya masyhur dari Abu Nu’aim al-Ashfahani (wafat 1038 Masehi). Kitab itu terdiri atas delapan jilid. Isinya mengulas tentang hadis-hadis Rasulullah SAW dan dilengkapi dengan silsilah sanad yang panjang sampai kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Demikian pula, al-Ashfahani dalam karangannya itu juga menceritakan kisah-kisah para sahabat Nabi SAW, orang-orang dari generasi tabiin, tabiit tabiin, serta salik, ahli tasawuf, dan ibadah.
Dalam kitab ini, Abu Nu’aim menulis ensiklopedi para wali dan sufi sejak masa sahabat hingga masa kontemporer ketika dirinya hidup.Â
Hilyat al-Auliya ditulisnya dengan dorongan ingin memberikan pencerahan kepada umat. Sebab, pada zaman itu banyak pendusta yang secara terang-terangan mengaku diri sebagai wali Allah. Padahal, mereka hanya ingin popularitas di tengah masyarakat, demi meraup keuntungan materiil.
Bahwa ada sekelompok orang fasik, jahat, penghalal segala sesuatu, dan pengikut paham hulul yang kafir.
“Mereka menisbatkan diri pada ahli ilmu, kebajikan, ketakwaan, dan menggunangan simbol-simbol kemuliaan mereka sampai masyarakat awam tertipu penampilan mereka,” tulis Abu Nu’aim dalam kitab tersebut.
Hingga era modern pun, kitab tersebut tetap menjadi salah satu rujukan tentang makna kebijaksaan dalam ajaran Islam. Secara khusus, kisah perjumpaan antara waliyullah dan wabah di atas kerap menjadi bahan renungan. Apalagi, dalam kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini.
Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdltul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini dalam diskusi daring pada awal April lalu, hikayat tersebut mengandung hikmah yang besar. Dia mengatakan, kisah itu mengajarkan kepada manusia agar tidak terlalu takut dan panik di tengah situasi wabah. Sebab, kepanikan justru dapat semakin membahayakan kesehatan diri masing-masing.
Kisah itu mengajarkan kepada manusia agar tidak terlalu takut dan panik di tengah situasi wabah. Sebab, kepanikan justru dapat semakin membahayakan kesehatan diri.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, hal senada juga sudah disampaikan seorang sarjana Muslim era klasik yang pakar ilmu kedokteran: Ibnu Sina. Sosok yang dikenal dunia Barat sebagai Avicenna itu menegaskan, kepanikan adalah separuh dari penyakit. Sementara itu, ketenangan adalah separuh obat, sedangkan kesabaran adalah awal dari kesembuhan total.
Tinggalkan kepanikan, tetapi jangan luput dari berikhtiar. Sebab, dalam ajaran Islam wabah memang berasal dari Allah Ta’ala, sebagaimana setiap peristiwa di langit dan bumi milik-Nya. Akan tetapi, wabah yang menimpa orang-orang yang beriman dapat diartikan sebagai rahmat atau kebaikan.
Hal itu terjadi bila seorang Mukmin telah berusaha berlindung dari buruknya wabah. Upaya itu diiringi dengan penuh tawakal, kesabaran, dan harapan akan memperoleh ridha-Nya.
Bagi Mukminin yang gugur lantaran terkena wabah, ganjaran baginya adalah syahid. Statusnya seperti orang-orang yang wafat dalam perjuangan atau jihad fii sabilillah. Semoga kita semua dapat melalui pandemi ini dengan sebaik-baiknya.
Sumber: Republika
Diskusi tentang inipost