AMPAR.ID, JAMBI – Perbedaan sudut pandang terkadang terkesan bersifat ambigu ataupun multy tafsir yang tidak jarang menelan korban dari suatu pemikiran ataupun pandangan dalam melihat suatu persoalan bahkan terkesan menciptakan dogma sesat bagi khalayak ramai.
Dari sudut pandang hermeneutika sendiri sulit untuk membedakan antara kebenaran dengan pembenaran. Mungkin hal ini salah satu keinginan yang mendasari berdirinya Pengadilan atau Lembaga Peradilan sebagai terminal akhir untuk membedakan produk dari pandangan yang bersifat ambigu atau multy tafsir, hingga tercipta keadilan yang berprikemanusiaan dan Berketuhanan Yang Maha Esa.
Hal itu sepertinya yang terjadi terhadap Muhammad Royan bin Sulaiman sebagai salah satu karyawan tidak tetap pada Bank Sembilan Cabang Mersram Kabupaten Batanghari, yang harus menjalani proses untuk mendapatkan keadilan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dengan perkara Nomor: 16/Pid.sus-TPK/024/PN.Jambi.
Terendus issue yang beredar di lingkungan lembaga peradilan tersebut yang menilai bahwa yang bersangkutan menjadi korban dari dua jenis pikiran tersebut terhadap defenisi yuridis atau pengertian dan unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Issue yang beredar tersebut juga menyebutkan yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa setelah ditetapkan sebagai Tersangka oleh penyidik Unit Tidpikor di Polres (Kepolisian Resort Batanghari) setelah terjadinya kredit macet pada Bank daerah tersebut.
Berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa disinyalir terjadinya ambigu atau multy tafsir tersebut pada pandangan terhadap status yang bersangkutan sebagai seorang karyawan magang serta adanya penggunaan dokumen palsu pihak penerima manfaat dalam proses pemberian kredit pada Bank Daerah tersebut.
Perbedaan sudut pandang juga terjadi menyangkut status ketenagakerjaan yang bersangkutan atau terhadap unsur barang siapa dalam perkara yang dikatakan sebagai perkara Tindak Pidana Korupsi tersebut dengan penilaian yang berbeda pula.
Tidak berhenti sebatas itu ambigu atau mutly tafsir terjadi juga terhadap pandangan indikasi kejahatan perbankan sampai dengan pembahasan tentang siapa mempunyai hak apa dan siapa berbuat apa, bahkan sampai dengan siapa mendapat apa?.
Secara yuridis Magang diatur dengan ketentuan dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan pasal-pasal tersebut masih tetap berlaku dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Merujuk pada amanat konstitusional sebagaimana diatas dapat diartikan peserta magang tidak memiliki hak dan kewenangan sebagai pengambil kebijakan ataupun pengambil keputusan apalagi menyangkut tentang keuangan.
Multy tafsir berikutnya terjadi dengan adanya interpretasi menyangkut tentang penafsiran unsur Merugikan Keuangan Negara atau terhadap defenisi uang yang disalurkan tersebut apakah uang negara ataukah uang Bank Sembilan sebagai Bank Daerah, yang melahirkan perbedaan pandangan Tindak Pidana Korupsi ataukah Kejahatan Perbankan?
Menariknya perkara tersebut juga mengungkap tentang kredit macet yang berakhir dengan ditemukan adanya penggunaan dokumen palsu dalam proses penyaluran kredit macet tersebut, yang menjadi muara perlakuan tindakan hukum atas tindak pidana korupsi.
Suatu fakta yang menunjukan bahwa prinsip kehati-hatian atau analis kredit yang lebih dikenal dengan sebutan 5P, 5C, 3R itu, pada bank daerah tersebut tidak berjalan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menyangkut tentang perbankan.
Atau dengan kata lain disinyalir telah terjadi kejahatan perbankan atau suatu kejahatan yang tergolong pada kejahatan berkerah putih (white collar crime) yang dinilai oleh Penyidik Kepolisian Resort Batanghari dan Kejaksaan Batanghari sebagai Tindak Pidana Korupsi, tanpa melihat adanya kejahatan perbankan.
Suatu kisah perjalanan hidup anak bangsa yang menarik untuk disimak dan direnungkan lebih dalam tentang nilai-nilai sebuah kebenaran, serta warna penegakan hukum dan keadilan, dan yang terutama guna menambah wawasan pengetahuan tentang Ilmu Hukum.
Untuk itu kami dalam waktu dekat ini akan melakukan audiensi dengan beberapa pihak antara lain Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi III DPR-RI, guna mengetahui sejauh mana penanganan perkara tersebut telah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Diskusi tentang inipost