AMPAR.ID, JAMBI – Interpretasi frasa roboh pada bangunan Mall Pelayanan Publik Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Muaro Jambi secara filosofis sebenarnya yang roboh bukanlah gedung tersebut akan tetapi cara berpikir oknum berkompeten dan bertanggungjawab atas penggunaan keuangan rakyat.
Pemikiran yang disinyalir mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran dalam menterjemahkan hak dan kewenangan serta kewajiban kepatuhan peraturan perundang-undangan dari berbagai aspek ataupun perspektif hukum, sekalipun hanya sebuah Peraturan Daerah (Perda) tetap merupakan instrument dan termasuk dalam hierarki hukum.
Merubah akumulasi anggaran pada sebuah Peraturan Daerah itu bukan persoalan sederhana akan tetapi masalah serius menyangkut kehormatan wakil rakyat yang telah menetapkan anggaran tersebut merupakan sebuah instrument hukum.
Secara yuridis normative berdasarkan fiksi hukum; semua orang dianggap tahu hukum atau mengerti hukum (presumptio iures de iure) perbuatan tersebut patut diduga kuat untuk diyakini merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), serta adanya pelecehan atas hak dan kewenangan anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Artinya disana tidak lagi terjadi adanya kesesuaian antara pikiran dengan obyek (Adaequatio intellectus et rei).
Garis besarnya tidak lagi ada keharmonisan birokrasi antara eksekutif dengan legislative dalam pelaksanaan tugas pokok dan kewajiban pemerintahan sebagai pelaksana konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Seharusnya sebagai wakil rakyat anggota DPRD Kabupaten Muaro Jambi bawa persoalan ini ke ranah hukum, tokh tidak ada dalih ataupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pejabat politis tidak boleh atau tidak dapat melakukan langkah-langkah hukum.
Sebagai pemegang hak controlling legislative berhak mengajukan permintaan audit investigasi kepada Auditor Negara, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas semua persoalan menyangkut robohnya cara berpikir oknum berkompeten atas persoalan tersebut.
Sembilana diatas dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau „rules and procedures‟ (regels), artinya jika kebijakan pemerintah menyangkut Hak Guna Usaha pihak yang bertikai dengan masyarakat peserta transmigrasi dimaksud tidak menjadi embrio utama konplik lahan yang terjadi.
Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di dalam negara hukum yang sesuai dengan azaz dan norma serta kaidah hukum perizinan serta sesuai dengan azaz dan norma serta kaidah hukum pertanahan, atau perizinan dan pemberian alas hak atas tanah yang disinyalir dijadikan tempat sejuk dan nyaman pendirian panggung budaya koruptif.
HGU dan beserta segala macam perizinan sebagai turutannya yang diberikan oleh oknum yang tidak terindikasi melacurkan diri dan jabatan serta memahami amanat konstitusional sebagaimana ketentuan pada Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Apalagi ketentuan peralihan undang-undang tersebut sebagaimana pada Pasal 39 Undang–Undang yang dimaksud menegaskan bahwa: berlakunya Undang-Undang dimaksud selama tidak bertentangan dengan ketentuan pada Undang-Undang yang terbaru (15/97) tidak membuat tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1972.
Pemerintah yang menggunakan satu bahasa pengabdian yang sama dengan tidak menterjemahkan hak dan kewenangan yang bersifat multy tafsir atau tidak menggunakan bahasa yang bersifat ambigu menyangkut tentang hak dan kewenangan untuk membicarakan kebenaran dengan tanpa mempergunakan dalih pembenaran sebagai dalil.
Kebenaran yang terlahir dari pemikiran atau cara berpikir yang tidak terkontaminasi dengan virus pemikiran yang mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran, yaitu pikiran yang bebas merdeka dari segala bentuk intimidasi dan intervensi segala bentuk kekuasaan.
Kemerdekaan Pemerintah yang mampu berpikir secara konstitusional dengan tetap berlandaskan AUPB, atau penyelenggaraan negara yang tidak menggambarkan adanya suatu penerapan ataupun pelaksanaan pemerintah berada dibawah kekuasaan oligarki dengan paham kekuasaan dengan kekayaannya (plutokrasi).
Tanpa AUPB maka konsep dan program serta idiologi negara kesejahtetaan (welfare state) tidak akan pernah terwujud dan hanya sebagai slogan usang tanpa roh kekuasaan hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Pemerintah saja terkesan masih terjajah apalagi rakyat atau masyarakat tentunya akan tetap menjadi budak-budak kolonialisme.
(Oleh: Jamhuri- Direktur Eksekutif LSM)
Diskusi tentang inipost