AMPAR.ID – Sekian banyak praktek kekuasaan yang menimbulkan kesan bahwa masyarakat telah salah dalam menentukan pilihan dan menempatkan suara yang justru hanya berakhir dengan suatu penilaian bahwa suara rakyat telah tergadai dan tersandra dalam ruang sempit dan pengap dari sebuah penjara budak-budak birahi kekuasaan.
Sejumlah kebijakan Pemerintah terkesan memperalat kepentingan dan suara masyarakat hanya sebatas untuk dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan birahi kekuasaan, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan penilaian masyarakat dengan asumsi dan persefsi Pemerintah tidak berpihak pada kebenaran, sehingga melahirkan pemeo yang menyatakan Pemerintah membela yang bayar bukan yang benar.
Kebijakan yang telah membuat negara terpaksa membentuk Satuan Khusus Pemberantasan Mafia Pertanahan, yang diawali dengan penyelesaian persoalan yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat menyentuh keakar permasalahan yang sebenarnya, dan hanya menempatkan posisi masyarakat dan Aparat Penegak Hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan serta Lembaga Peradilan sama-sama sebagai korban dari suatu kebijakan.
Diantaranya persoalan tentang operasional sejumlah perkebunan yang terdapat di kawasaan daerah Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi, seperti persoalan yang terjadi antara masyarakat desa Pematang Raman yang berseteru dengan pihak PT. Bara Eka Prima menyangkut tentang hak pengelolaan dan pengusaan atas lahan seluas ± 720 Hektar.
Persoalan dengan indikasi yang diawali oleh perizinan yang cacat hukum sebagaimana diatas bukanlah satu-satunya yang terjadi di Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Muaro Jambi, masih terdapat indikasi praktek mafia pertanahan seperti yang terjadi dikawasan Kecamatan Kumpeh tepatnya di desa Gedong Karya.
Dimana disinyalir adanya Hak Guna Usaha tumpang tindih atau Hak Guna Usaha didalam Hak Guna Usaha lain, atau HGU berbeda diatas lahan yang berbeda yang diberikan pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Jambi.
Persoalan tersebut bukanlah merupakan satu-satunya yang terjadi, karena masih terdapat persoalan dengan indikasi adanya praktek mafia pertanahan, hingga melahirkan penilaian bahwa Hukum sebagai alat kontrol sosial belum mampu memenuhi ekspektasi masyarakat yang menginginkan persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan menempatkan masyarakat dan pihak Kepolisian sebagai aparat penegak hukum berada pada posisi yang sama yaitu sama-sama sebagai korban dari suatu kebijakan.
Persoalan lainnya yang menciderai rasa keadilan serta ekspektasi masyarakat dan/atau suara menempatkan suara rakyat hanya sebatas alat pemenuh birahi kekuasaan juga terjadi pada ruang lingkup perizinan Batubara, antara lain seperti permasalahan dualisme hak kepemilikan dan hak penguasaan atas Perizinan PT. Bumi Borneo Indah.
Suatu persoalan yang diikuti dengan persoalan menyangkut tentang keabsahan dan kepastian hukum atas alas hak yang secara otomatis akan diikuti dengan keabsahan perikatan para pihak menyangkut legalitas penguasaan dan operasional badan hukum yang dimaksud yang dilihat dengan kacamata hukum perdata maupun hukum pidana.
Selain daripada persoalan hukum masih terdapat masalah lainnya menyangkut tentang kwalitas daripada penegakan hukum juga terjadi di lingkungan Pemerintahan Kota Jambi, yang menghentikan kegiatan pembanguan Stoctpile PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) dan disinyalir telah dilakukan oleh pihak yang sama sekali tidak memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan hukum tersebut.
Tindakan hukum yang dilakukan dengan menggunakan dalil hukum yang merupakan suatu pemahaman yang bersifat multy tafsir, dimana perkara tersebut seharusnya adalah merupakan kompetensi pihak Kepolisian atau bukan merupakan ranah Satuan Polisi Pamong Praja Kota Jambi.
Sederetan catatan panjang sejarah penegakan hukum yang menimbulkan kesan bahwa baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan dibuat hanya disesuaikan dengan ukuran kepentingan dan serta keinginan birahi kekusaan stratifikasi sosial diri pribadi atau golongan tertentu, walau untuk itu harus mengorbankan nilai-nilai mulia kemanusiaan sebagai makhluk terhormat yang memiliki kehormatan.
Seakan-akan penegakan hukum (law enforcement) dilakukan hanya menimbulkan paradigma baru seakan-akan hukum tanpa roh dan berada diatas tangan-tangan lemah dan rapuh. Hukum dipergunakan untuk mencederai dan melukai sendi-sendi sosiologis dan filosofis masyarakat umum.
Diantara realita kebijakan yang ditenggarai hanya sebagai suatu pemuas birahi kekuasaan yaitu persoalan konplik lahan antara masyarakat petani dengan investor sebagaimana diatas, dimana hukum terkesan hanya melihat tentang benar dan salah pihak yang bertikai tanpa mampu melihat lebih jauh dengan berdasarkan azaz causalitas.
Artinya hukum belum melihat sebab dari segala persoalan yang ada, berawal dari penggunaan hak dan kewenangan dari sudut pandang (perspektif) Hukum Perizinan baik tentang Izin Lokasi, Izin Prinsip maupun tentang Hak Guna Usaha (HGU), dilihat dari aspek Hukum Pertanahan menyangkut alas hak dan/atau historis tanah, dan Hukum Lingkungan serta Hukum Pajak.
Dengan kata lain hukum belum mampu melakukan proses hukum sesuai dengan norma dan azaz hukum pembuktian guna untuk membuktikan dan meminta pertanggungjawaban dengan memberikan konsekwensi hukum kepada para pembuat kebijakan berkompeten baik tentang tanggungjawab pemberian alas atas hak tanah, pengawasan dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan dan Dinas Perkebunan, Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), beserta oknum Kepala Daerah setempat sebagai pembuat keputusan atau pembuat kebijakan (decesion maker).
Suatu persoalan yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan persoalan keuangan dan pendapatan, hukum belum terlihat mampu mengukur kadar kebenaran Pendapatan tersebut benar-benar memasuki Kas Negara dengan sebutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan tidak berubah menjadi plesetan Pendapatan Negara Buat Pejabat. Pertikaian hukum yang teramat sangat panjang yang seakan-akan sebuah sinetron tanpa seri dan edisi serta tidak diketahui secara pasti kapan akan berakhir.
Suasana yang mengharuskan Pemerintah mengambil kebijakan dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Pertanahan. Kebijakan yang merupakan suatu pengakuan negara bahwa institusi yang mengurusi pertanahan adalah lahan subur praktek mafia. Suatu pengakuan yang dilakukan dengan tindakan eksplisit oleh penyelenggara pemerintahan
Keberadaan Satgas yang ditunggu peranan dan sikap proaktifnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya atau sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum agar terwujud kemanfaatan hukum sebagaimana mestinya dan tanah akan benar-benar dapat diartikan dengan pengertian sesuai dengan amanat konstitusional yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Penantian penuh dengan harapan dan tanda tanya menyangkut tentang hasil dan kwalitas kerja dari lembaga yang terbentuk dari pengakuan negara tersebut, harapan benar-benar akan mampu menghasilkan produk penegakan hukum, dengan begitu kesejahteraan umum akan benar-benar terwujud, serta kesatuan tersebut tidak hanya sebatas alat bagi kepentingan politik semata. Atau akan bernasib sama dengan generasi pendahulunya Satgas Mafia Hukum yang hilang lenyap tertimpa dahsyatnya geliat gejolak kepentingan politik kekuasaan.
Penantian panjang menyangkut warna penegakan hukum sebagai ekspektasi masyarakat, warna telah yang dinodai oleh suasana atau situasi politik yang disertai dengan geliat gejolak birahi kekuasaan dengan simponimya yang indah menawan mampu menghipnotis sejumlah pejabat dan/atau penyelenggara negara.
Warna yang memberikan gambaran bahwa masyarakat telah keliru dalam menentukan pilihan juga terlihatnya dengan terjadinya Korupsi Ketok Palu yang melibatkan hampir keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi pada beberapa waktu yang lalu (2017).
Dimana penanganan perkaranya meninggalkan catatan kaki yang bernarasikan kalimat tanya kenapa penanganan perkara tersebut melalui tangan-tangan hukum yang digunakan oleh KPK terkesan begitu lamban dan serta tidak mampu menyentuh sosok-sosok tertentu yang terkesan sebagai makhluk kebal hukum, ataukah pemeo yang selama ini beredar di tengah-tengah masyarakat bahwa hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, benar-benar telah terjadi?.
Sepertinya cerita dengan indikasi masyarakat telah salah dalam menentukan pilihan serta kisah indahnya simponi birahi kekuasaan tidak terbatas pada persoalan sebagaimana diatas saja, akan tetapi diikuti dengan kisah oknum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Barat beserta dengan kroni-kroninya yang terindikasi melakukan praktek tindak pidana korupsi, dimana untuk oknum wakil Bupati dimaksud telah dilakukan proses hukum oleh pihak Polda Jambi.
Pemikiran dengan kesimpulan bahwa suara rakyat benar-benar telah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri, dengan adanya issue atau khabar burung yang menyebutkan adanya perbuatan atau adanya kebijakan yang termasuk pada kategori praktek yang tidak manusiawi dengan melakukan pemotongan atau atau tidak membayarkan remonurasi yang menjadi hak bagi setiap Aparatur Sipil Negara (ASN).
Persoalan berikutnya buramnya warna demokrasi yaitu menyangkut tentang dana Parcipating Interest (PI) sebesar 10 % dari SKK MIGAS yang tidak dapat dilaksanakan yang disebabkan dengan adanya egosentris politik kekuasaan dari individu tertentu yang dilakukan dengan cara menolak memenuhi ataupun tidak memberikan persyaratan adminisrasi yang dipersyaratkan, dengan asumsi dan persefsi penolakan tersebut merupakan kebijakan yang dilakukan hanya mementingkan kepentingan politik pribadi dan demi memenuhi kebutuhan birahi kekuasaan oknum pembuat kebijakan yang dimaksud.
Egosentris yang membuat pembuat kebijakan sanggup melupakan kenyataan bahwa dibalik kekuasaan yang diemban diperoleh karena adanya kedaulatan suara rakyat yang menyebabkan dirinya memiliki kesempatan menikmati sakralnya ucapan atau ikrar Sumpah Jabatan yang dilakukan dengan menghadirkan Yang Maha Kuasa sebagai saksi.
Suatu keadaan pelaksanaan pemanfaatan kekuasaan yang menginginkan agar aparat penegak hukum melakukan proses hukum sesuai dengan azaz dan norma hukum pembuktian dan jika hal tersebut benar-benar terjadi dan terbukti secara syah dan meyakinkan di hadapan hukum maka akan dapat ditarik satu kesimpulan yaitu masyarakat dengan segala batasan kemampuan yang ada benar-benar telah salah menentukan pilihan, demokrasi telah berwarna kabur ditimpa oleh gemerlapnya warna serangan oligark dan hukum telah kalah dan tidak berdaya di hadapan kekuasaan mafia dengan praktek cartelnya.
Kebenaran tidak lagi dapat diartikan sebagai suatu keadaan dengan adanya kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan dan telah dilakukan dengan tindakan pembenaran supaya terlihat benar. Kebenaran tidak lagi didapat dengan akal sehat, yang telah takluk dikalahkan oleh akal bulus dan fulus, dengan tujuan utama yaitu demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
Dimana Akal Bulus demi untuk kepentingan kekuasaan ataupun jabatan dan Akal Fulus untuk memperoleh kekayaan. Akal sehat yang sedang terancam dan terbelenggu oleh kedua jenis iblis kekuasaan dan kekayaan tersebut. Kekuasaan yang secara kasat mata membuat pengguna akal tidak lagi dapat berpikir menggunakan akal sehat dan nalar yang diiringi oleh hati nurani.
Seharusnya dengan akal sehat manusia dapat berpikir secara logis. Dimana berpikir merupakan ciri utama manusia yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya ataupun selain daripada manusia. Pikiran merupakan suatu proses yang menandakan berkerjanya akal. Hanya manusialah yang bisa berpikir karena manusia mempunyai akal sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk berakal.
Dengan berpikir manusia dapat merubah mengubah keadaan, kemampuan dan kesehatan akal serta kejernihan nurani yang diiringi dengan nalar yang didukung oleh nurani yang mampu mengekang napsu yang disertai dengan naluri kebinatangan.
Ketika napsu dan naluri lebih berkuasa atas nalar dan nurani, maka keduanya akan berposisi dengan posisi yang tak lebih daripada sebagai budak-budak birahi kekuasaan dan kekayaan. Birahi yang membisikan ajaran bahwa dengan kekuasaan maka akan didapat kekayaan, atau tanpa kekusaan tak akan pernah didapat kekayaan.
Akal sehat yang terbelenggu dengan kedua jenis iblis kekayaan dan kekuasaan tersebut telah menciptakan pikiran dengan kesimpulan untuk mendapatkan kekuasaan harus diawali dengan kekayaan dan setelah itu akan kembali mendapatkan kekayaan sebagaimana yang diinginkan atau mengajarkan kekuasaan memberikan kekayaan sekalipun harus menghalalkan segala cara.
Pikiran dengan keyakinan yang bersifat bolak balik, menciptakan budak-budak atau hamba sahaya penyembah kekuasaan yang meyakini hanya dengan kekayaan maka akan mendapatkan kekuasaan dan dengan kekuasaan akan mendapatkan kekayaan. Baik kekayaan materi maupun non materi insani.
Setidak-tidaknya memperkaya diri dengan mimpi dan janji, serta melupakan kemampuan diri, cukup dengan sebatas berpura-pura seakan-akan memiliki kemampuan. Janji dan mimpi yang akan ditebarkan seluas mungkin guna untuk mendapatkan kekayaan “Suara”, tanpa suara tidak akan diperoleh kekuasaan.
Hanya pikiran teologis sebagai pengetahuan membeo bahwa Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) yang masih tersisah, pengetahuan yang tanpa diikuti dengan pengertian dan pemahaman akan arti dari suatu ungkapan dari suatu keyakinan, serta meyakini bahwa pandangan tersebut telah berubah menjadi culture set hingga begitu gampang dapat digantikan dengan semboyan Suara rakyat adalah suara receh (vox populi vox argentum).
Kekuasaan akan didapat tergantung dari seberapa banyak kemampuan menebar janji dan seberapa banyak nilai receh yang dimiliki untuk ditebarkan dengan cara yang begitu sistematis guna mendapatkan bukti tentang mahalnya harga sebuah kursi kekuasaan.
Hanya bidak-bidak birahi kekuasaan tersebut yang ada dibenak dan pikiran serta mengisi ruang kosong dan gelap serta kotor di kepala yang dikuasai oleh iblis-iblis laknatullah. Pemikiran yang tak lagi mengenal akan rasa malu sehingga melahirkan sikap apatis yang identik dengan ungkapan sebagaimana yang dikemukan oleh Plautus yang menilai bahwa Manusia adalah Serigala bagi Manusia lainnya (Homo Homini Lupus) yang menempatkan manusia tidak lebih dari hewan yang bermasyarakat (Zoon Politicon) sebagaimana ungkapan Aristoteles.
Manusia yang telah mengubur akal sehat korban pemerkosaan yang dilakukan oleh kekuasaan dan daya tarik pesona simponi indah birahi kekuasaan yang dipersenjatai dengan akal bulus dan akal fulus yang benar-benar telah melumpuhkan dan membutakan mata hati untuk dapat melihat kebenaran baik secara indrawi, filosofis dan deontologis, maupun dari aspek teologis atau teleos yaitu kebenaran yang sesuai dengan aspek religius, serta aspek kontekstual.
Atau dengan kata lain tetap berpikir dengan mempergunakan akal sehat yang terbebas dari cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran. Kemampuan berpikir dengan mengedepankan aspek-aspek baik sosiologis, maupun filosofis, serta yuridis, ataupun berpikir secara ilmiah.
Berpikir ilmiah yaitu suatu cara berpikir berdasarkan atau dengan menggunakan sarana tertentu secara teratur dan cermat atau sesuai dengan nurani insani sebagai makhluk sempurna yang terhormat dan memiliki nilai-nilai kesusilaan serta etika moral dan etiket insani.
Moralitas sebagai filter sangat diperlukan dalam masyarakat karena perannya sebagai panduan bertindak (action guides). Sementara Etika adalah studi tentang pandangan moral dan tindakan manusia (Ethics is the study of moral).
Nilai-nilai moral menurut Kumorotomo (2007) mempunyai karakteristik yaitu Primer yang melibatkan 5 Lima Moral Pemerintahan yang merupakan suatu komitmen untuk bertindak dan merupakan landasan hasrat (appetitive basic), yang paling utama sehingga termasuk ke dalam nilai primer.
Selanjutnya disebutkan oleh Kumorotomo bahwa karakteristik moral lainnya yaitu riil, terbuka, dan bersifat positif maupun negative, serta Orde Tinggi atau Arsitektonik berupa ketaatan pada peraturan maupun pedoman-pedoman spiritual, dan karakteristik Absolut, dimana seharusnya Moralitas pada manusia mesti bebas dari sifat-sifat mementingkan diri sendiri (egosentris) yang terdapat pada kehendak kehendak relatif.
Kenyataannya suara rakyat yang merupakan indicator penentu utama kondisi dan situasi politik yang semula sebagai konsep pembuktian kedaulatan dianggap sudah tidak lagi berpihak kepada akal sehat, dan telah bergeser jauh dari tempatnya semula, sebagai akibat dari adanya paham neoliberalisme yang secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti Word Trade Organisation (WTO) dan Bank Dunia (Word Bank).
Ketinggian kursi kekuasaan yang menciptakan tatanan kekuasaan absolut dari paham Tirani dengan pola otokrasi serta dikekang oleh cengkraman kuku-kuku kekuasaan oligark dengan paham oligarkinya, menghendaki agar negara benar-benar hadir di tengah-tengah dan dirasakan oleh masyarakat. Kehadiran secara bersama-sama dengan kehadiran hukum. Negara dan hukum tidak boleh kalah dengan kekuasaan oligark dan cartel serta demokrasi tidak boleh pudar dengan gemerlapnya warna paham oligarki.
Hukum dan negara yang diisi dengan pikiran-pikiran yang mampu menempatkan suara-suara agung kedaulatan tidak berada pada posisi yang terendah apalagi sampai tanpa memiliki nilai-nilai keluhuran sebuah peradaban bangsa.
Kedaulatan yang mampu mengakhiri pemikiran hamba sahaya stratifikasi sosial yang telah berubah menjadi budak birahi kekuasaan dan menimbulkan gambaran dan anggapan bahwa para pemegang kedaulatan tertinggi telah berubah menjadi barisan pelayan yang melayani atau bak majikan melayani hamba sahaya.
Kekuasaan dan kedaulatan negara serta kedaulatan hukum yang akan melahirkan manusia-manusia yang mampu menjadikan kekuasaan sebagai alat pengabdian tanpa kepentingan bukan sebaliknya malah menjadikan dirinya sebagai seonggok daging dan kerangka bernyawa yang diperalat dan terhipnotis oleh simponi indah birahi kekuasaan.
Negara dan hukum yang menggunakan instrument berpikir seperti Nalar yang semula adalah merupakan salah satu perangkat bathiniah manusia yang dipergunakan dalam upaya pencarian kebenaran, yang diikuti dengan hati nurani diyakini akan menjadikan hukum mampu berdiri kokoh dan berada diatas tangan-tangan perkasa dari kekuasaan aparat penegak hukum.
Hukum dengan efek jera yang akan menempatkan sejumlah bakal calon korban dari birahi kekuasaan akan mampu membedakan antara benar dan salah, serta berpikir dengan logis dan etis dengan mengedepankan pandangan Etika.
Etika bukan sekedar sebagai studi tentang apa yang ada melainkan apa yang seharusnya (Ethics is not the study of what is, but of what oughtbe). Etika yang tetap berada pada posisi dan proporsi semula yang luhur sebagai prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak.
Etika yang dengan ketajaman matanya mampu melihat nafsu adalah sebuah dorongan, sebuah keinginan untuk memenuhi kesenangan, yang sebenarnya sifatnya netral. Dorongan yang bagaikan dua mata pisau, yang menempatkan manusia berada diantara dua pilihan, yaitu memilih tetap sebagai manusia ataukah harus terjebak dilembah kehinaan dengan prinsip hidup tidak ubah seperti yang digambarkan oleh Plautus sebagai seekor serigala (Homini Lupus).
Perbedaan penerapan simbolisasi binatang buas terletak pada pola kekuasaan era Raja Ahab yang dimangsa oleh istrinya sendiri (Ratu Izebel), artinya Ratu Izebel tidak mempergunakan suara rakyat sebagai alat utama dalam mencapai kedudukan tertinggi pada sebuah organisasi kekuasaan, akan tetapi pada penerapan demokrasi yang cenderung salah kafrah saat ini simbolisasi kebinatangan digunakan sebagai ilustrasi senjata mendapatkan kekuasaan yaitu dengan cara menempatkan suara dan kepentingan rakyat sebagai alat memenuhi birahi kekuasaan.
Senada dengan penggunaan simbolisasi kebinatangan dengan mempergukan binatang buas (Serigala) juga dipergunakan untuk menyebutkan tentang penilaian terhadap tingkat atau kadar kekotoran dan kerusakan bagaimana akal manusia, dengan mempergunakan Bulus (Amyda cartilaginea) sebagai gambaran tentang kelicikan cara berpikir.
Pikiran yang terbuai oleh indah dan merdunya simponi birahi kekuasan telah melupakan bahwa kebijakan harus berdasarkan dan sesuai serta selaras dengan ilmu hukum, dan tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum.
Diskusi tentang inipost